Oleh : Laynatus Syifa Is Sulthony
(Komunitas Menulis Asyik Cilacap)
17 April 2019, hari dimana pesta demokrasi dirayakan dengan pencoblosan oleh rakyat diseluruh penjuru indonesia sudah berlalu, namun ternyata kisahnya tak berhenti sampai disini. Banyak kisah justru baru dimulai, sayangnya cerita yang tersedia bukan tentang kisah yang indah, namun pilu.
Deretan kisah pilu itu dimulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara sudah tercoblos lebih dulu. Deretan kasus ini menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berjalan langsung. https://tirto.id/deretan-kekacauan-pemilu-2019-bukti-kegagalan-kpu-dmwX
Belum lagi kisah pilu tentang sejumlah korban dari anggota KPPS yang jatuh sakit, meninggal, mengalami keguguran, hingga depresi dan memilih bunuh diri.
Jumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara ( KPPS) meninggal dunia bertambah menjadi 272 orang. Selain itu, sebanyak 1.878 anggota KPPS dilaporkan sakit.
Angka ini mengacu pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabtu (27/4/2019) malam. "Jumlah anggota KPPS wafat 272, sakit 1.878. Total 2.150 tertimpa musibah," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik saat dikonfirmasi, Sabtu.
Dibandingkan data KPU Jumat (26/4/2019) malam, jumlah anggota KPPS meninggal bertambah sebanyak 42 orang, dan anggota yang sakit bertambah 117 orang. Baik anggota KPPS yang meninggal maupun sakit sebagian besar disebabkan karena kelelahan dan kecelakaan.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/27/23493331/hingga-sabtu-jumlah-anggota-kpps-meninggal-bertambah-jadi-272-orang
Demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat, Terbuktikah?
Jargon yang selalu didengungkan dalam sistem demokrasi adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Bagaimanakah realisasinya?. Jawaban dalam hal ini memang benar uang yang digunakan dari iuran yang dibayarkan oleh rakyat, tenaga yang mensukseskan jalannya pemilu mulai dari anggota KPPS hingga KPU juga dari rakyat, tapi pada kenyataannya pemilu hanya menjadi sarana bagi korporasi dan rezim untuk menguasai rakyat.
Demokrasi pada hakikatnya hanya berpihak kepada penguasa yang akan melanggengkan penjajahan sistemisnya dalam segala aspek, yakni politik, ekonomi maupun sosial, dan budaya.
Seorang pengamat perkembangan politik Indonesia, Olle Tornquist jauh hari telah meramalkan akan datangnya hantu (kaum jahat) demokrasi. Dalam bentuk ini demokrasi hanya terjadi secara formal, minus substansi. Rakyat tidak pernah secara nyata menjadi pemegang penuh kedaulatan negara yang bersifat strategis dan hanya dikuasai oleh segelintir elite dan oligarki yang berkuasa. https://m.detik.com/news/kolom/d-4468521/pemilu-paling-rumit-di-dunia
Hipokrit Pemilu Dalam Demokrasi
Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia, hipokrit adalah kata sifat yang mempunyai arti munafik atau berpura-pura, sementara itu kata munafik sendiri mempunyai arti suka atau selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perkataannya.
Jika ditarik benang merah antara pemilu dalam hipokritnya demokrasi, kita akan menemukan kesimpulan atas semua kisah pilu dan kekisruhan yang terjadi pada pemilu 2019 yang membuktikan bahwa rakyat tidak bisa berharap dengan diadakannya pemilu akan benar-benar menjadi sarana terwujudnya perubahan.
Sekalipun terjadi perubahan dengan bergantinya pemimpin di negeri ini, hal itu hanya akan merubah rezim semata, namun akar dan substansi yang mendasari terjadinya kekisruhan, kepiluan dan kerugian bagi rakyat tak pernah terhenti, yaitu sistem Demokrasi itu sendiri.
Solusi Pemilu Terbaik Sudah Ada Sejak 1.400 Tahun Lalu
Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme pemilihan kepemimpinan. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.
Dalam sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.
Sedangkan dalam sistem republik demokrasi, pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen.
Lalu, bagaimana mekanisme pemilihan pemimpin dalam sistem Islam?
Umat Sebagai Pemegang Kekuasaan. Dalam sistem pemerintahan Islam, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi).
Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah (pemimpin), semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt. Hal ini dijelaskan dalam QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas.
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.
Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا
Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahulukan (HR Muslim).
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.
Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’, sehingga tidak akan munculkan kekisruhan, kepiluan, kecurangan, kerumitan, kerugian, dan kedzhaliman. Yang terjadi jika pemilu menggunakan Islam sebagai sistemnya justru akan membawa kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat, tak perlu ada pemborosan anggaran untuk kertas suara yang digunakan dalam pencoblosan, tak perlu menghawatirkan kecurangan, dan tak perlu mendzhalimi petugas KPPS yang digaji tak seberapa namun harus bekerja ekstra dalam tekanan hingga kelelahan, tidak tidur, jatuh sakit, keguguran bahkan meninggal dan bunuh diri karena depresi.