Oleh Indriani, SE, Ak
(Penulis, Pemerhati Politik dan Ekonomi)
Dentang waktu tepat menghantarkan kita pada sebuah acara besar rakyat Indonesia. Pemilu 2019 yang digadang-gadang dalam sistem Demokrasi sebagai pesta rakyat. Dengan menghabiskan uang yang tidak sedikit dalam penyelenggaraannya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, adakah representasinya demikian?
Rakyat yang seyogyanya dijadikan sumber suara untuk pileg dan pilpres negeri ini. Sedangkan wujud nyata dari pemilihan tersebut hanya dirasakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan (pemilik modal). Rakyat sendiri hanya merasakan remah-remah sisa. Bahkan ada yang tak merasakan apapun dari hasil pemilu yang lalu.
Miris sebenarnya. Namun, demikianlah fakta dari demokrasi yang dibangga-banggakan. Begitupun pada pemilu 2019 ini, dimana semua lini dijadikan sebagai sumber suara. Termasuk kalangan milenial.
Sebagaimana yang dikutip dari detik.com bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengingatkan generasi milenial agar tidak Golput di Pemilu 2019. Di hadapan ratusan mahasiswa yang hadir Luhut meminta para generasi muda agar tidak Golput di Pileg dan Pilpres, 17 April 2019 mendatang. Karena menurutnya itu sangat menentukan nasib bangsa ke depan.
Lagi dan lagi, harapan yang dilemparkan ke tengah-tengah rakyat. Membius rakyat dengan visi-misi yang dibalut rapi di bawah kepentingan pemilik modal. Sedangkan faktanya siapapun pemimpinnya, pasti akan mengikuti bagaimana sistem yang ada di pemerintahan tersebut.
Namun ada yang menarik dari pemilu 2019 ini. Keberadaan paslon (pasangan calon) yang merangkul atau bahkan menjadikan ulama sebagai sebagai pegangan. Sesuatu yang positif di tengah pupusnya harapan rakyat akan kepemimpinan di Indonesia. Yaitu ada keinginan bahwa penguasa muslim yang memimpin mereka. Sekalipun nyatanya, pemimpin yang ada tak akan mampu mengubah sistem dan kebijakan yang ada. Mereka hanya tinggal melanjutkan yang ada.
Ibarat mengendarai mobil yang telah rusak. Siapapun pengendaranya, tak akan mampu menjadikan mobil tersebut berjalan dengan baik, kecuali mobilnya yang diganti. Begitulah gambaran pemilihan pemimpin di sebuah negara. Selama Sistem Kapitalisme-Sekuler yang mencengkeram dan menguasai negeri ini tak dicabut kemudian diganti dengan sistem yang paripurna, yaitu Islam. Maka, berat tuk rakyat memiliki pemimpin sebagaimana yang diharapkan.
Sehingga yang menjadi pertanyaan, adakah pada kedua paslon tersebut yang benar-benar menjadikan Islam sebagai vis-misi mereka? Memiliki kesanggupan tuk menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya sumber hukum dan aturan dalam kehidupan? Kemudian mau menerima Khilafah sebagai satu-satunya metode penerapannya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.?
Semuanya bisa dilihat pada visi-misi masing-masing paslon. Dan bagaimana rekam jejak serta hubungan keduanya dengan asing maupun aseng. Karena itu tentunya akan berpengaruh pada upaya pemenangan dan timbal balik pasca kemenangan paslon tersebut. Seperti itulah wajah politik Sistem Kapitalisme. Ada uang, ada kepentingan. Sehingga tak ada makan siang gratis dalam sistem ini.
Jadi, semisal ditanya, 2019 rakyat memilih siapa? Kembali lagi, pilihan ada di tangan rakyat. Rakyat hari ini sudah memiliki perasaan yang kuat terhadap Islam. Dan juga sudah cukup cerdas tuk menentukan pilihannya. Tinggal kita mengarahkan, maka kemenangan Islam tinggal menanti pertolongan-Nya. Sebagaimana semakin pekatnya malam, maka menyingsingnya fajar semakin dekat. Jangan pernah takut, karena Allah bersama mereka yang yakin akan janji-Nya.
Wallahua'lam bi shawab.