Oleh. Fajrina Laeli
(STIE Insan Pembangunan)
Pelaksanaan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2019 ini hanya menerapkan metode Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) saja. Metode Ujian Tulis Berbasis Cetak (UTBC) resmi dihapuskan.
Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) menjadi syarat wajib siswa sebelum mendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2019. Dengan membayar Rp200.000, calon mahasiwa bisa ikut UTBK mulai Maret ini.
Calon mahasiswa yang ingin mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2019 harus mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang diselenggarakan Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi Kemenristekdikti.
"UTBK dilaksanakan dua gelombang, pendaftaran gelombang I pada 1-24 Maret 2019 dan gelombang II 25 Maret sampai 1 April 2019," kata Wakil Rektor I Unand, Prof Dachriyanus di Padang, Senin (18/2/2019).
Ia menjelaskan pelaksanaan UTBK digelar selama 10 kali dalam 20 sesi dengan materi tes potensi skolastik untuk mengukur kemampuan kognitif dan tes kompetensi akademik.
Namun tetap saja, untuk mengikuti UTBK ini calon mahasiswa tetap diharuskan membayar sebesar Rp 200.000, tidak gratis. Sepertinya memang benar adanya, tidak ada yang gratis di negeri ini. Untuk sekedar melakukan tes saja perlu biaya yang lumayan.
Di tahun ini pemerintah memfokuskan untuk mengubah sistem dari Ujian Tulis Berbasis Cetak (UTBC) ke Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Namun, perubahan ini tidak mendasar sebab banyak anak yang telah lulus tidak mampu untuk melanjutkan Perguruan Tinggi karena masalah biaya. Jadi mahalnya biaya pendidikan dan ketidakmampuan rakyat dalam menjangkaunya bukan menjadi prioritas bagi negeri ini.
Padahal tingginya biaya pendidikan di Indonesia apalagi Perguruan Tinggi masih menjadi hambatan bagi banyaknya anak yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan. Dengan berubahnya sistem dari ujian cetak ke ujian berbasis komputer ini tidak serta merta menyelesaikan masalah inti yang dihadapi secara nyata. Sebaliknya semakin menunjukan kesenjangan dan diskriminasi pendidikan antara si kaya dan si miskin.
Dilansir dari Medcom.id, 24/12/18, Riset yang dilakukan Haruka Evolusi Digital Utama (HarukaEDU) di 2018 menyebutkan, 79% lulusan SMA/SMK yang sudah bekerja tertarik untuk melanjutkan kuliah lagi. Namun, 66% responden di antaranya urung kuliah karena mengaku terkendala biaya. Hanya 8,15 % dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang berhasil menyelesaikan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi.
Salah satu kendala yang banyak ditemui oleh para lulusan SMA dan SMK untuk langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di antaranya adalah persoalan biaya. Bahkan persoalan biaya juga masih membayangi para lulusan SMA/SMK tersebut, meskipun mereka telah bekerja dan memiliki penghasilan. Hasil riset tersebut juga mencatat, ada 66% pekerja lulusan SMA/SMK kesulitan biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Meskipun mereka ingin sekali kuliah lagi.
Program-program beasiswa yang digencarkan pemerintah pun terkesan tidak tepat sasaran. Menilik fakta yang ada banyak diantara mereka yang berkecukupan memanfaatkan program beasiswa dari pemerintah.
Bantuan dari pemerintah juga hanya mengenai segelintir siswa saja, tidak mengenai semua siswa yang memang membutuhkan. Jadi bantuan ini terkesan hanya main-main dan tidak serius. Lebih seperti faktor pencitraan untuk mendapat simpati di tengah masyarakat. Bukan karena ingin menaikkan tingkat pendidikan di Indonesia.
Fakta berbicara, banyak juga di antara mereka yang membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Mengimbangi keinginan untuk terus melanjutkan pendidikan dan juga bertahan hidup untuk makan dan membayar keinginan tersebut. Sayang tak semua mampu bertahan sampai akhir dan meraih cita. Biaya pendidikan yang senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menyebabkan banyak mahasiswa yang tereliminasi dan tak menuntaskan pendidikan tinggi.
Mahalnya biaya pula yang menjadi alasan mengapa kaum muda dewasa ini lebih memilih untuk bekerja dan mengubur keinginan untuk kuliah. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal menjamin kesejahteraan rakyat dalam hal pendidikan. Padahal mencetak generasi terbaik penting artinya bagi keberlangsungan sebuah bangsa.
Mahalnya biaya pendidikan ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem yang telah gagal menyediakan pendidikan terjangkau. Sebab pendidikaan dikelola atas dasar kapitalisme yang berorientasi komersial.
Berbeda dengan masa dimana Islam dahulu berjaya hingga menguasai 2/3 dunia. Di masa itu pendidikan begitu terjamin, kesejahteraan rakyat pun dengan pasti dapat ditanggung penuh oleh pemerintah. Jaminan pendidikan ini tidak tebang pilih untuk beberapa orang saja. Melainkan secara merata untuk seluruh warga yang berada di bawah naungannya.
Islam telah memberikan kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Bahkan menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia. Islam menjadi cahaya terang di tengah gelapnya dunia.
Tidakkah kita rindu hidup sejahtera dibawah naungan sistem Islam? Dimana kepastian akan jaminan hidup adalah nyata adanya. Negara bukan hanya sebagai fasilitas dan wadah. Namun sebagai pengatur jalannya roda kehidupan yang berdasar pada peraturan Allah Ta’ala.
Tak akan ada pendidikan mahal dalam naungan Islam. Karena pendidikan diatur sebagai hak rakyat yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi. Saat itulah output dunia pendidikan yang berkualitas akan mampu dihadirkan. Generasi yang sanggup memimpin dan mengembalikan masa kejayaan Islam yang gemilang. Wallahu’alam bisshawab