Oleh: Atik Hermawati
(Pengajar RA, Pemerhati Sosial dan Keluarga)
Sumur, dapur, dan kasur. Itulah kalimat yang melekat pada perempuan dan selalu dihujat oleh para aktivis feminis. Peran utama yang tidak boleh diabaikan dan harus dilakukan dengan kesungguhan. Namun, apakah peran perempuan hanya sebatas hal-hal tersebut?
Peringatan Hari Perempuan Internasional atau IWD diperingati setiap 8 Maret. Acara ini di gelar serentak oleh berbagai aktivis perempuan dunia. Kesetaraan dan kebebasan gender menjadi andalan kampanyenya. Menganggap kedua hal tersebut sebagai solusi atas problematika yang melanda perempuan dunia.
"Balance for Better" menjadi tema peringatan IWD pada tahun 2019 ini. Dikatakan dalam situs resminya, pemilihan tema ini ditujukan untuk kesetaraan gender, penyadaran tentang adanya diskriminasi, dan perayaan pencapaian perempuan. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam dunia pemerintahan, sosial, dunia kerja, hukum, dan kekayaan (Detik.com, 08 Maret 2019).
Sehubungan dengan hal tersebut, setidaknya ada enam hal yang selalu dituntut setiap tahunnya. Kesempatan dalam dunia politik dan urusan negara, kesempatan dalam dunia kerja, perlindungan dan kenyamanan, kebebasan berkarya dan berekspresi, melanjutkan pendidikan, dan kesetaraan bagi sesama perempuan. Isu tersebut masih diperbincangkan sampai saat ini. Perempuan dianggap belum mencapai kesetaraan dan kebebasan yang sempurna. Berharap keseimbangan untuk hidup perempuan lebih baik (Kumparan.com, 08 Maret 2019).
Pemberdayaan ekonomi perempuan dianggap sebagai wadah dalam menampung peran perempuan. Sedangkan, pencapaian materi dijadikan indikator keberhasilan. Hingga kini, banyaknya perempuan menempati jabatan strategis di parlemen tidak mengubah keadaan perempuan pada umumnya. Kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan semakin meningkat.
Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2018 (CATAHU 2018) yang dikeluarkan Komnas Perempuan di Jakarta Selatan pada 06 Maret 2019, menunjukkan peningkatan jumlah kasus tersebut. Komnas Perempuan mencatat 406.178 kasus yang dilaporkan selama tahun 2018. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang terdapat 348.466 kasus (Tribunnews.com, 06 Maret 2019).
/Kesetaraan dan Kebebasan Bukanlah Jalan/
Problematika yang selalu menimpa perempuan dunia tidaklah terlepas dari dua hal yaitu sistem yang berlaku dan pemahaman perempuan terhadap hakikat perannya. Pertama, sistem yang berlaku. Kapitalisme yang kini sedang eksis tak pernah lepas dari asas manfaat untuk mencapai materi sebesar-besarnya. Pemberdayaan ekonomi yang dilakukan sejatinya hanya untuk eksploitasi perempuan besar-besaran. Perempuan dijadikan faktor produksi serta target pasar produksi untuk tetap bercokolnya para kapital. Akhirnya peran perempuan diperah untuk hal-hal yang tak berfaedah bagi fitrahnya. Bahkan tidak sedikit mengalihkan pada peran utamanya.
Selanjutnya, regulasi yang lemah dan tidak memayungi menjadikan perempuan selalu dalam keterpurukan. Keadilan bagi perempuan dalam sistem Kapitalis tidak diperhatikan. Poin utamanya ialah bagaimana peraturan yang ditegakkan menyuburkan penghasilan bagi para kapital dari perempuan. RUU P-KS yang selalu didesak pun tak luput dari kekeliruan yang fatal. Atas nama memberantas kekerasan seksual, namun isinya membiarkan kebebasan yang akan semakin menghancurkan perempuan.
Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga IPB, Prof. Euis Sunarti, menolak RUU P-KS ini. Ia menilai bahwa RUU P-KS membuka ruang konflik keluarga lebih besar. Materi yang dicantumkan lebih mengedepankan hak dan otonomi individu tanpa menyeimbangkannya dengan kewajiban. Definisi kekerasan dan pemaksaan pun dalam rancangan ini mengabaikan penyimpangan seksualitas (Kiblat.net, 28/01/2019).
Penyebab kedua ialah pemahaman perempuan yang salah terhadap hakikat peranannya. Posisi sebagai ibu rumah tangga dianggap rendah. Sedangkan jabatan dalam pekerjaan atau kekuasaan dianggap sebagai kemajuan dan keberhasilan. Menganggap peran di keluarga dan sosial takkan bisa beriringan. Akhirnya banyak perempuan yang berlomba-lomba mengejar karir dan jabatan dengan melalaikan peran utamanya. Berteriak dengan lantang meminta kesetaraan dan kebebasan.
Sejatinya kesetaraan yang selalu diusungkan bukanlah jalan. Kesetaraan dalam segala hal yang mereka harapkan takkan terealisasikan. Apabila dipaksakan, maka perempuan akan kehilangan keseimbangan dan mengalami kehancuran. Sebab perempuan dan laki-laki mempunyai beberapa perbedaan sesuai dengan fitrahnya. Begitu pula dengan kebebasan. Liar tanpa aturan akan membuat semakin lama dalam keterpurukan. Hingga akhirnya menuju pada kebinasaan.
/Peran Perempuan dalam Islam/
Islam menempatkan perempuan sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga) serta ummu ajyal (ibu generasi). Memandangnya sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Sehingga semua peraturan diberlakukan untuk mengoptimalkan perannya yang hakiki.
Selain itu, menetapkan kesejajaran derajat dengan laki-laki terhadap hukum atau ketaatan terhadap syariat. Perempuan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki kecuali pengkhususan untuk perempuan ataupun laki-laki sesuai dalil syara. Perempuan memiliki hak berdagang, aktivitas pertanian, perindustrian, dan melakukan berbagai transaksi lainnya. Membolehkan perempuan memiliki setiap jenis kepemilikan dan mengembangkan kekayaannya, baik sendiri maupun bekerja sama serta menjalankan segala urusan kehidupan. Perempuan boleh diangkat menjadi pegawai negeri dan qadhi hisbah. Boleh memilih anggota ataupun menjadi anggota Majelis Umat yang menampung segala aspirasi dan keluhan yang ada untuk didengar dan diatasi (Taqiyuddin An Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam hal. 192-193).
Hukum dan sanksi yang ditetapkan Islam terbukti menjaga darah, harta, dan kehormatan perempuan. Tercatat dalam sejarah bagaimana Khalifah Mu'tashim Billah mengirimkan pasukan demi melindungi seorang perempuan yang dilecehkan. Betapa luar biasa Islam dalam memuliakan perempuan.
Oleh karena itu, wajib dan sangat penting bagi setiap perempuan mengoptimalkan peran sejatinya. Yaitu untuk menegakkan dan menopang peradaban gemilang. Pertama, menjadi ummun wa rabbatul bait. Tak dipungkiri, generasi tangguh terlahir dari rahim perempuan yang tangguh. Serta kedua, melaksanakan peran sosialnya yaitu menjadi ummu ajyal (ibu generasi). Berkontribusi untuk umat dengan melaksanakan amar makruf nahi mungkar baik secara individu maupun berjamaah. Menjadikan dakwah sebagai poros hidupnya. Melangkah bersama para muslimah lainnya untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah 'ala minhajin nubuwwah dengan tujuan melanjutkan kehidupan Islam. Sehingga rahmat tercurah atas seluruh alam dan menyelesaikan problematika hingga ke akarnya.
Peran perempuan tak boleh diremehkan dan diabaikan. Islam telah memberikan jalan bagi problematika yang melanda. Kesetaraan dan kebebasan hanyalah racun yang disuntikkan feminisme untuk menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Islam telah memuliakan perempuan jauh sebelum Liberte, Egalite, et Fraternite dicetuskan.
Wallahu'alam bishshawab.