Umat Islam Butuh Khilafah, Bukan Nasionalisme


Oleh: Nursiyati, A.Md Komp

(Pengajar)


Nasionalisme telah membutakan mata hati para pemimpin muslim termasuk Arab Saudi, hal ini dapat dilihat dari berpihaknya Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman mendukung pembangunan kamp konsentrasi untuk Muslim Uighur. Dia mengatakan bahwa tindakan Cina itu dapat dibenarkan. “Cina memiliki hak untuk melakukan pekerjaan anti-terorisme dan ekstremisme untuk keamanan nasionalnya,” kata Bin Salman, yang telah berada di China menandatangani banyak kesepakatan dagang pada Jumat (22/02/2019).

Cina telah menahan sekitar satu juta Muslim Uighur di kamp konsentrasi, tempat mereka menjalani program pendidikan ulang yang diklaim sebagai perang melawan ekstremisme Kelompok-kelompok Uighur telah meminta pangeran muda Saudi yang kuat untuk mengangkat perjuangan mereka, karena kerajaan ultrakonservatif secara tradisional menjadi pembela hak-hak Muslim di seluruh dunia. Namun para pemimpin Muslim sejauh ini tidak membahas krisis Uighur dengan Cina, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi mitra dagang penting dengan Timur Tengah. (m.kiblat.net)


Di tenggarai pula bahwa berpihaknya Arab Saudi terhadap cina di karenakan  bahwa Cina menjadi salah satu investor utama Arab Saudi, selain Amerika Serikat, Perancis dan Jepang. Data dari America Enterprise Institute (AEI) dalam laporannya berjudul China Global Investment menunjukkan bahwa pada tahun 2016 saja, total investasi Cina di Arab Saudi mencapai 1,25 miliar dolar AS. Ada empat sektor utama investasi Cina di Arab Saudi pada tahun 2016. Sektor pertama yakni pada bahan kimia. Total investasi Cina mencapai 120 juta dolar AS. Kemudian, Cina juga berinvestasi di sektor transportasi. Jumlah investasinya mencapai 180 juta dolar AS. 

Investasi Cina juga merambah ke sektor energi. Cina melakukan investasi sebesar 330 juta dolar AS di sektor tersebut. Terakhir, Cina investasi di sektor perumahan dengan nilai mencapai 620 juta dolar AS. Sektor perumahan sektor dengan nilai investasi tertinggi Cina di Arab Saudi untuk tahun 2016.(m.kiblat.net)

Sehingga tidak heran ketika Arab Saudi bahwa nantinya Bahasa Cina akan dimasukkan dalam kurikulum dalam semua tingkat pendidikan di Arab Saudi. Demikian satu hal yang disepakati selama pertemua Putra Mahkota Muhammad bin Salman, wakil perdana menteri, menteri pertahanan dan seorang delegasi senior Cina, Jumat (22/02/2019).

Inilah salah satu bukti bahwa pinjaman dari luar negeri dapat melumpuhkan logika politik sebuah negara dalam memandang satu masalah yang terjadi pada negeri lain yang dalam bukti dan fakta nya bahwa negara tersebut telah berbuat salah apalagi jika hal ini menimpa negara yang notabene mempunyai akidah yang sama dengan Arab Saudi.

Tidak hanya penduduk Uighur yang mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari negara Cina, kita bisa melihat dengan jelas kasus-kasus yang sama yang menimpa kaum muslim di dunia misalnya kaum Rohingya yang mendapat perlakuan justru seharusnya membuka mata hati kita sebagai seorang muslim, kaum Rohing mendapat perlakuan di usir dari negeri mereka dan tidak hanya itu mereka mengalami tindak kekerasan yang sangat menyakitkan.

Selain itu masih banyak negara-negara yang mengalami hal seperti itu sebut saja Palestina, Suriah dan lainnya, namun hal ini justru membutakan masyarakat dunia khususnya kaum muslim yang mempunyai pemimpin-pemimpin yang notabene beragama Islam namun di karenakan sekat nasionalisme membuat mereka tidak mampu berbuat untuk menyelematkan saudaranya sendiri.

Nasionalisme sudah terlanjut dianggap sebagai sebuah paham yang baik dan positif. Nasionalisme dianggap tali pengikat ampuh yang bisa mempersatukan suatu bangsa sampai ada hadis yang menyatakan: Hubbu al-wathan min al-iman (Cinta tanah air bagian dari iman). Hanya saja, sebagaimana penuturan Imam ash-Shan’ani dalam Kitab Mawdhu’at ash-Shan’ani, hlm. 47, hadis no: 81; hadis ini mawdlu’ (palsu). Ahli hadis lain menyatakan hadits tersebutdusta (makdzub) dan tidak ada asal-usulnya (la ashla lahu). Imam Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, ulama besar mazhab Syafii, juga menyatakan, “Lam aqif ‘alayhi” (Saya tidak mengetahui hadits ini). Dengan demikian, hadis ini tidak sah dijadikan sebagai hujjah. Selain itu menurut Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu keadaan pada individu saat dia merasa bahwa pengabdian yang paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air. Dengan kata lain, nasionalisme adalah paham yang mengunggulkan dan mengutama-kan kebangsaan dan menomorduakan paham lain. Bagi seorang nasionalis bangsa adalah segala-galanya. Tidak ada yang lebih penting dalam hidupnya kecuali meraih kejayaan dan membela bangsanya. Tidaklah aneh jika kaum nasionalis tega memberangus bahkan mematikan paham atau ide keagamaan jika ide dan paham tersebut dianggap bertentangan dengan nasionalisme dan mengganggu kepentingan nasional.Dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 memang Allah SWT menyatakan (yang artinya): Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari lelaki dan perempuan; Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguh-nya orang mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa di sisi Allah. Ayat ini hanya menuturkan tentang keragaman (pluralitas) bangsa, ras dan suku agar manusia saling mengenal, tolong menolong dan mengetahui nasab masing-masing. Tak ada keutamaan satu suku atas suku yang lain serta bangsa satu atas bangsa yang lain. Keutamaan diukur dengan tingkat ketakwaan. Dari arah mana pun, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pensyariatan nasionalisme. Islam justru memerintahkan umatnya untuk bersatu dan mencampakkan sejauh-jauhnya ikatan-ikatan sektarian, seperti kebangsaan, suku dan ras.

Jadi jika demikian seharusnya dunia butuh khilafah yg akan menjaga darah dan kehormatan  umat Islam di hadapan musuh Karena itu kaum Muslim seharusnya berjuang menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah sebagai thariqah syar’iyyah untuk menerapkan syariah Islam secara kaaffah.


 WalLahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak