sumber pic:google |
Yusra Ummu Izzah
(Pendidik Generasi)
“ Di rumah-NYA yang suci, hari yang diagungkan dan dibulan yang dimuliakan mereka dibantai… semoga mereka wafat sebagai syuhada…”
Jum’at, 15 Maret 2019 Dunia Islam kembali berduka karena aksi biadab Brenton Tarrant seorang pria berusia 28 tahun kelahiran Australia yang dengan bangganya menyiarkan aksi brutal penembakan terhadap jamaah muslim yang akan menunaikan sholat jum’at di Masjid Al Noor Christchurch New Zealand, Selandia baru. Tak tanggung-tanggung korban tewas di temoat sejumlah 49 orang. (detiknews)
Malangnya Umat Islam
Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini tepat kiranya untuk menggambarkan kondisi umat Islam di belahan bumi manapun saat ini, tak terkecuali di New Zealand. Harga darah kaum muslimin di Negara dengan jumlah umat Islam minoritas terasa begitu murah, dibantai secara brutal. Dan yang lebih menyakitkan , kaum muslim kembali disalahkan.
Senator Australia Fraser Anning yang juga ekstrem kanan menyalahkan imigran muslim atas terror di Christchurc. Ia mengatakan penembakan massal yang dilakukan Brenton Tarrant dan sejumlah pelaku lain karena meningkatnya ketakutan atas bertambahnya keberadaan migran muslim.
Aksi brutal terhadap kaum muslim bukanlah yang pertama, namun sungguh sangat ironi aksi ini sempat hanya disebut sebagai penembakan brutal. Penyerangan bersenjata bukan teroris, padahal aksinya sudah jelas-jelas menimbulkan ketakutan (terror) terhadap umat Islam. Meski tak lama berselang dunia pun mengakui perbuatan tersebut tergolong aksi teroris.
Terorisme dan Standar Ganda Dunia
Defenisi terorisme, baik menurut para ahli maupun berdasarkan peraturan Undang-undang memiliki kesamaan, yakni bahwa terror adalah perbuatan yang menimbulkan ketakutan atau kengerian pada masyarakat. Dengan kata lain seluruh defenisi tentang terror selalu mengandung unsur ketakutan dan kengerian. Dalam The Prevention of Terrorism, 1984 pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk membuat masyarakat atau anggota masyarakat ketakutan.
Seharusnya berdasarkan definisi terorisme tersebut, aksi brutal yang dilakukan Brenton Tarrant adalah tindakan teroris – THE REAL TERRORIST- karena bukan hanya menimbulkan ketakutan dan , kengerian bahkan menimbulkan korban tewas di tempat sejumlah 49 orang.
Semakin miris sebab belakangan viral seruan untuk menghentikan penyebaran video penembakan tersebut dengan alasan psikologi keluarga korban. Apakah mungkin sedang terjadi sebuah pembodohan opini dan upaya menutupi tragedi pembantaian terhadap umat Islam ? Semoga tidak.
Mari kita bandingkan terkait pemberitaan media saat kasus penangkapan kasus terorisme yang masih berstatus “terduga” media memberitakan secara massif. Sama sekali tak ada seruan untuk menghentikan pemberitaan dengan alasan mempertimbangkan psikologis keluarga korban.
Apakah karena terduga menyandang nama beraroma Islam? Kembali standar ganda nyata teridentifikasi. Sebelumnya tentu kita masih ingat juga dengan kasus pengeboman di Prancis. Saat itu ketika yang dituduh pelakunya adalah muslim. Serentak seluruh media diminta untuk meliput dan mengabarkan bahwa rakyat Prancis sedang diserang kelompok teroris dari umat islam, dan disiarkan secara massif.
Umat Butuh Perisai
Islam jelas bukan terorisme dan terorisme bukan Islam. Sebab Nabiyullah Muhammad SAW sejak awal telah mengajarkan, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR. Nasai nomor 3987, Thurmudzi nomor 1455 dan dishahikan Al Albani).
Lalu mengapa kemalangan demi kemalangan acap kali menimpa umat Islam? Irak, Palestina, Rohingya hanya beberapa di antara deretan saksi bisu terpuruknya kaum muslimin.
Tak pelak ketiadaan perisai menjadikan kaum muslimin tercerai berai, hukum Allah diacuhkan bahkan tumpahan darah kaum muslimin dijadikan sebagai mode sebuah permainan. Perisai yang akan selalu menjaga dan melindungi umat Islam di manapun berada. Perisai itu tak lain adalah tegaknya Imamah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Sebagaimana hadits Rasul saw.,
“Sesungguhnya seorang Imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya.“ (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).
Yang dimaksud dengan al-imâm adalah khalifah. Sebab sebagaimana penjelasan I^emam an-Nawawi, sebutan al-imâm dan al-khalifah itu adalah metaradif (sinonim). Makna hadits ini bisa dipahami sebagai pujian atas keberadaan imam atau khalifah.
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa imam adalah junnah(perisai) yakni seperti tirai/penutup karena menghalangi musuh menyerang kaum Muslim, menghalangi sabagian masyarakat menyerang sebagian yang lain, melindungi kemurnian Islam dan orang-orang berlindung kepadanya. Adapun menurut al-Qurthubiy maknanya adalah masyarakat berpegang kepada pendapat dan pandangannya dalam perkara-perkara agung dan kejadian-kejadian berbahaya dan tidak melangkahi pendapatnya serta tidak bertindak sendiri tanpa perintahnya.
Hadits ini juga memberikan makna bahwa keberadaan seorang al-imâm atau khalifah itu akan menjadikan umat Islam memiliki junnah atau perisai yang melindungi umat Islam dari berbagai marabahaya, keburukan, kemudaratan, kezaliman, dan sejenisnya. Makna hadits ini menemukan faktanya saat ini. Ketika imam yang menjadi perisai umat Islam itu tidak ada, umat Islam pun menjadi bulan-bulanan kaum kafir dan musyrik serta orang-orang zalim. Tiada yang melindungi maupun membela mereka.
Padahal kaum muslimin menurut Allah SWT adalah umat terbaik dan termulia:
“Kalian adalah umat terbaik yang diutus untuk manusia, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan mengimani Allah…”(Q.S Ali Imran [3]:10).
Semoga penderitaan kaum muslim kali ini semakin menyadarkan umat bahwa saatnya kepemimpinan umat hadir kembali. Menjadi perisai di penjuru negeri. Wallaahu a’lam