Oleh: Sumiati (Praktisi Pendidikan dan Member AMK )
Rakyat Papua tengah dilanda musibah.
Banjir bandang yang menerjang sembilan kelurahan di kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (16/3) malam, telah memakan korban banyak dan diperkirakan terus bertambah.
Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin (15/3) pukul 15.00 WIB, mencatat 79 orang tewas dan 43 korban belum ditemukan. Lebih dari 4 ribu jiwa terpaksa mengungsi.
Aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai prihatin di tengah kepiluan ini, justru uang negara miliaran rupiah dihambur-hamburkan untuk penyelenggaraan apel kebangsaan.
Apel kebangsaan ini diinisiasi Pemerintah Provinsi Jawa dan telah digelar kemarin (Minggu, 17/3) mulai pagi hingga siang hari di Simpang Lima, Semarang.
"Nalar publik tercederai! Di saat musibah menimpa bangsa saya, tim Jokowi berpesta pora 18 miliar uang negara, uang rakyat kecil untuk sebuah acara musik yang dihadiri hanya 2 ribuan orang," ujarnya, Senin (18/3).
Pigai pun membandingkan alokasi bantuan dana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Papua.
"Bantuan BPBP Papua hanya 1 miliar untuk rakyat Sentani Papua," jelasnya.
Sungguh telah hilang nilai kemanusiaan untuk menyelamatkan rakyat yang dilanda bencana, tidak menunjukkan iba apalagi bersegera mengulurkan bantuan dari Negara, karena yang ada pemerintah malah memprioritaskan penghamburan uang yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan rakyat. Sudah hilang nuraninya dan gagal menjadi pemimpin sebuah Negara. Ironinya di Negeri Kapitalis, pemerintah hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri ketimbang kepentingan rakyatnya, pemimpin merakyat hanya retorika semu untuk memikat rakyat yang lugu.
Inilah fakta dalam Demokrasi, ketika menjadi penguasa maka yang dilakukan adalah bagaimana caranya agar terpenuhi syahwat dunianya, walaupun harus menelantarkan rakyat.
Sangat berbeda dengan Islam, sistem Islam memiliki cara dalam penyelesaian secara tuntas terhadap bencana dengan pengalokasian dana yang optimal. Memprioritaskan yang lebih membutuhkan. Karena Islam mengajarkan demikian.
Sekilas contoh dari Umar bin Khaththab radhiyallahu dalam penanggulangan bencana:
Setiap orang dari tim penanggulangan bencana ditempatkan pada pos-pos di perbatasan Kota Madinah untuk mencatat hilir mudik orang yang mencari bantuan makanan. Hingga tercatat sepuluh ribu orang yang masuk ke dalam Madinah dan lima puluh ribu orang yang masih berada di daerah asalnya. Khalifah Umar segera menyalurkan bantuan kepada orang yang berada di luar Madinah dan menampung orang yang mengungsi.
Khalifah Umar memberikan segalanya hingga tidak ada yang dapat diberikan. Kemudian Khalifah Umar mengirim surat kepada Abu Musa di Bashrah dan Amru bin Ash di Mesir yang berisi, “Bantulah umat Muhammad, mereka hampir binasa”.
Kemudian kedua gubernur mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar hingga mencukupi kebutuhan pangan rakyat yang mengalami musibah kekeringan. Selain itu, Khalifah Umar pun senantiasa bermunajat kepada Allah melalui doa meminta turun hujan bersama paman Nabi, Abbas.
Sungguh sangatlah agung dan mulia sikap Khalifah Umar bin Khattab dalam mengayomi rakyatnya. Ia tak malu untuk terjun langsung menjadi pelayan bagi rakyatnya yang membutuhkan bantuannya. Ia pun tidak mempermasalahkan tubuhnya kurus dan kulitnya menghitam ketika ia dan rakyatnya dilanda musim paceklik.
Tidak ada perlakuan khusus terhadap Umar selama musim paceklik. Umar radhiyallahu’anhuberkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”
Khalifah Umar menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan posisinya sebagai pemimpin. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, “Imam (waliyul amri) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”
Sepenggal kisah Khalifah Umar bin Khattab dapat dijadikan pelajaran atas penanggulangan bencana di Indonesia. Oleh karena itu, pemimpin negeri hendaknya fokus dan bersungguh-sungguh mengerahkan segala pemikiran dan perbuatan yang akan dilakukan terhadap korban bencana di Sentani sebagaimana Khalifah Umar yang fokus mengatasi permasalahan paceklik selama sembilan bulan lamanya.
Di tengah kemeriahan acara Apel Kebangsaan dan isu politik semoga tidak menjadikan pemerintah lalai untuk mengayomi rakyat yang sedang menunggu bantuan yang belum terdistribusi secara merata. Pemerintah tidak boleh melempar tanggung jawab dengan dalih membantu dalam rangka kemanusiaan adalah kewajiban bersama. Individu dan negara memiliki ranah dan tanggung jawab yang berbeda dalam penanggulangan bencana alam.
Wallaahu a'lam bishawab.