Oleh : lenny Idris, S.pd
( Praktisi Peduli Masyarakat )
Tiga kali sejak terhitung dari tahun 2016 momen 212 selalu menyedot perhatian. Dari segelintir yang menolak hingga jutaan yang ikut serta membludak. Tak hanya di Indonesia namun di Dunia internasional Reuni 212 yang diselenggarakan di Monas, Jakarta tersebut menyita perhatian seperti baru-baru ini diketahui masuk surat kabar di Jazirah Arab dan WNI Australia yang terbang ke Jakarta untuk 212.
Mulai dari anak-anak hingga dewasa, difabel dan yang sempurna fisiknya, dari yang duduk di kursi roda hingga yang berjalan tegap, dan dari berbagai ormas Islam yang seperasaan, sepemikiran datang untuk menjadi saksi bahwa kaum muslimin adalah mereka yang damai, yang bersih, yang dermawan untuk menghapus opini bahwa Islam bukan agama toleran.
Sungguh tak ada logika bagi mereka yang tidak memiliki iman dalam dada, karena terheran-heran melihat "Ghiroh" ummat Islam sedemikian rupa, mereka tidak dibayar namun harus membayar, mereka mengeluarkan sedekah yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Dari makanan, bendera tauhid dan seabrek perlengkapan untuk aksi bela tauhid tersebut.
Maka benar "Ummat Muhammad tidak akan mati dengan seribu meriam", setelah ada beberapa pemboikotan transportasi maka jalan kaki dilalui, dihadang sana-sini tak menyurutkan untuk pergi, lalu semangat apa yang ada dalam dada mereka jika bukan semangat iman, semangat persatuan. Mereka ormas Islam meletakkan berbagai perbedaan, membuncahkan persamaan. Maka jangan heran manis ukhuwah yang tidak terlukiskan indahnya.
Kita ingin Indonesia damai, sejahtera, muslim maupun non muslim, tidak ada yang saling menista, apalagi adu domba antar umat seagama atupun beragama lain. Namun nyatanya regulasi tidak bisa cakap dan tegas untuk hal ini.
Oleh karenanya umat ini perlu perasaan yang satu, pemikiran yang satu dan peraturan yang satu untuk mewujudkan kemanusiaan yang hakiki. Perasaan, pemikiran dan peraturan itupun harus dari Islam, karena tidak akan ada keadilan tanpa Islam ikut andil didalamnya.
Wallahu a'alam.