Oleh :Sri Yana
Pasca runtuhnya payung dunia Islam terakhir yang berpusat di Istanbul Turki pada 3 Maret 1924. wilayah Islam terbentang di seluruh jazirah Arab, Syam, Irak, Turki, semenanjung Balkan, sebagian Asia Tengah, Afrika Bagian Utara, bahkan sebagian Eropa Barat, Asia Tenggara dan Selatan yang terkotak-kotak menjadi lebih dari 50 negara yang dikuasai penjajah.(Buku pembela Islam) Oleh karena itu tanpa adanya payung Islam tersebut, ibarat anak yang kehilangan induknya. Tak ada tempat bertumpu dan berlindung. Semenjak itu lah negara-negara terkerat-kerat dalam entitas yang berbentuk negara, keemiran, atau kesultanan. Salah satunya adalah Arab Saudi yang tadinya merupakan bagian dari Daulah Khilafah Islamiah, kemudian sekarang yang berbentuk Kerajaan. Dengan rajanya adalah Pangeran Mohammad Salman bin Abdul Aziz Al Saud. Yang sekarang ini telah mengadakan hubungan kerjasama dengan Cina.
Sebagaimana yang di beritakan tirto.id bahwa kedatangan Raja Salman ke Cina akan membahas seputar bisnis. Ada juga yang menyebutkan bahwa kunjungan Arab Saudi Cina guna memperkuat kerjasama pemurnian minyak yang dioperasikan Saudi Aramco dan Sabic.
Padahal dengan nyata bahwa Cina telah mendiskriminasi minoritas Uighur yang ada di Xinjiang, Cina dengan penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, bahkan pemerkosaan. Dan mereka pun membangun Kamp Konsentrasi untuk melakukan genocide Muslim Uighur agar mereka jauh dari Islam. Tapi Dibalik itu kenapa Raja Salman masih ingin melakukan kerjasama dengan Cina? Bahkan memberikan dukungan terkait pembangunan Kamp Konsentrasi untuk Muslim Uighur.
"Cina memiliki hak untuk melakukan pekerjaan anti terorisme dan ekstremisme untuk keamanan nasionalnya," kata Raja Salman, yang telah berada di China, ketika menandatangani banyak kesepakatan dagang pada jum'at (22/02/2019).(m.kiblat.net)
Sebagaimana dilansir dengan laman yang serupa. Semua dilakukan, demi miliaran dolar uang Cina mengalir di Arab Saudi dalam bentuk investasi serta perdagangan. Andalan Investasi Cina berupa energi, perumahan, transportasi, pertanian dan logam. Energi dalam bentuk minyak lah salah satu komiditas utama perdagangan kedua negara tersebut.
Walhasil Arab Saudi sangat dekat dengan Cina, sampai-sampai bahasa Cina akan dimasukkan dalam kurikulum, pada semua tingkat pendidikan di Arab Saudi. Demikian satu hal yang disepakati selama pertemuan Putra Mahkota Muhammad bin Salman, wakil perdana menteri, menteri pertahanan dan seorang delegasi senior Cina, Jumat (22/02/2019).
“Rencana ini bertujuan untuk memperkuat persahabatan dan kerja sama antara Kerajaan Arab Saudi dan pemerintah Cina dan untuk memperdalam kemitraan strategis di semua tingkatan,” demikian menurut laporan Badan Pers Saudi (SPA).
Sampai sedekat itukah Arab Saudi dengan Cina? Jika ditelisik lebih jauh bahwa Arab Saudi adalah negara yang dahulu menjadi bagian dari payung Islam yang seharusnya melindungi dan membela Minoritas Muslim Uighur. Tetapi kenyataannya ia tak membelanya sama sekali, malah memberikan dukungan kepada Cina. Miris bukan!
Dimana rasa kemanusiaan, dan ukhuwah Islamiah Arab Saudi kepada sesama muslim yang membiarkan saudaranya menderita dan sengsara. Begitulah hidup di payung kapitalisme, yang tak mengerti persaudaraan, yang ada hanyalah teman atau lawan, bahkan teman bisa menjadi kambing hitam, ketika sudah tak ada manfaat lagi. Maka perlunya berhati-hati ketika membangun kerjasama diplomatik antar negara dan tolong menolong yang mana bukan atas dasar ikatan akidah. Seperti diumpamakan tidak ada makan siang gratis. Apapun yang diberikan akan meminta balas budi dari kebaikan yang telah diberikan.
Bahwa yang ada sekarang ini adalah ikatan Nasionalisme, dimana sudah terkotak-kotak, sehingga tidak adanya ikatan aqidah yang menyatukan seluruh negara-negara Muslim di dunia. Mereka berbuat berdasarkan atas kepentingan Nasionalisme, yang telah menutup mata hati para pemimpin muslim termasuk Arab Saudi untuk menolong saudara seakidah, bahkan tunduk di hadapan negara yang menumpah darah saudaranya.
Ibarat satu tubuh, bila ada bagian anggotanya yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan dampaknya. Selalu memiliki rasa yang sama. Begitulah persatuan umat Islam yang diibaratkan oleh Nabi saw. Ketika ada saudaranya tertimpa musibah atau terzalimi, maka pada hakikatnya seluruh umat Islam juga ikut merasakan sakit.
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, umat hendaknya kembali menggunakan hukum Islam agar selamat di dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT :
" Dan Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. (TQS. Al Maidah (5) : 49)
Sejatinya diperlukan persatuan umat dalam payung yang dinamakan Daulah Khilafah Islamiah yang akan menjaga darah dan kehormatan umat Islam di hadapan musuh. Seperti keadaan Muslim Uighur di Cina, Muslim Rohingya di Myanmar, Muslim Pattani di Thailand, Muslim Moro di Filipina, Muslim Cham di Kamboja. Semua itu bisa terjadinya oleh umat muslim berupa kedzoliman karena muslim-muslim minoritas tak ada yang melindungi. Lantas masihkah ingin mempertahankan sistem ini !
Waallahu a'lam bish shawab.