Oleh : Fadilah Rahmawati (Pendidik)
Peran wanita menjadi sorotan dunia, terlebih bulan Maret, yang pada tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day . “Balance for Better” menjadi tema yang diangkat pada tahun 2019 ini. Tema ini di angkat karena belum terjadinya keseimbangan atau kesetaraan laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Khususnya dalam dunia kerja, gap pay atau beda gaji masih terjadi antara pria dan wanita, di mana wanita dibayar lebih rendah dari pria (detik.com/8/3/2019). Hal senada di beritakan bahwa hari perempuan menjadi perayaan global ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional pada 1975. Fokus dari perayaan ini adalah pemberdayaan perempuan di semua bidang (tempo.com/16/03/2019).
Siapakah sejatinya yang menyuarakan “Balance for Better” ? Tidak lain adalah para pejuang feminisme. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang memperjuangkan emansipasi atau persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria tanpa adanya diskriminasi. Marry Wallstonecraff dalam bukunya "The Right of Woman" pada tahun 1972 mengartikan Feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi wanita, gerakan dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Inti dari Feminisme adalah bagaimana perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan diri. Hal ini bisa diartikan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan pendidikan (idntimes.com/26/07/2017).
Pada International Women's Day yang hendak diperjuangkan oleh kaum feminis adalah : Kesempatan dalam dunia politik dan urusan Negara, Kesempatan dalam dunia pekerja, Perlindungan dan Kenyaman, Bebas berkarya dan berekspresi, Melanjutkan Pendidikan, Kesetaraan bagi sesama perempuan (kumparan.com/8/03/2019).
Sekilas apa yang mereka perjuangkan nampak sebagai solusi yang baik atas permasalahan perempuan, namun mereka lupa akan beberapa hal penting, yaitu bagaimana jika kesetaran gender ini benar- benar diterapkan tanpa mempedulikan dampaknya, tanpa mempedulikan fitrah perempuan dan tanpa mempedulikan bagaimana Islam sebagai agama yang sempurna mengatur perempuan.
Sebagai seorang muslim tentunya kita harus mengembalikan solusi segala permasalahan kepada Islam sebagai agama yang sempurna, yang datang dari Sang pencipta kehidupan, dan yang telah membuat aturan dalam semua aspek kehidupan, karena Islam bukanlah hanya agama spirit saja yang hanya menyelesaikan masalah peribadahan, namun juga agama politis yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan manusia, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Islam telah menerangkan jika antara kaum laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama dihadapan Allah SWT. Hal tersebut terangkum dalam firman Allah yang berbunyi:
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shaleh, baik itu laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman. Maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya balasa atas apa yang telag mereka kerjakan dengan pahala yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 97).
Sehingga untuk meraih kedudukan yang tinggi di hadapan Allah maka kita harus kembalikan kepada Allah, sebab Allah telah mengatur peran perempuan dalam kehidupan. Apakah benar perempuan itu mempunyai peranan yang rendah selama ini sebagaimana yang di kemukakan kaum feminis? Tentu saja tidak, karena Islam memuliakan wanita.
Ketika dalam Islam mewajibkan perempuan sebagai ibu dan pengatur kehidupan rumah tangganya, maka perempuanlah pencetak generasi peradaban gemilang Islam, yaitu khilafah Islamiah. Contohnya Al-Khansa, dikenal sebagai ibu para mujahid. Empat anak laki-lakinya syahid bersamaan. Mereka bertempur dengan gagah berani berkat motivasi luar biasa yang ditanamkan ibu mereka sebelum perang. Ibu mereka berwasiat, “… Kalian semua tahu balasan besar yang telah Allah siapkan bagi seorang Muslim dalam memerangi orang-orang kafir. Ketahuilah (anak-anakku), negeri yang kekal itu lebih baik dari tempat yang fana ini. Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh Allah, perangilah musuh kalian dengan gagah berani. Mintalah kemenangan kepada Allah atas musuh." Usai peperangan, Al-Khansa mencari kabar tentang putra-putranya. Kabar syahid anak-anaknya sampai kepada dirinya.
Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap Rabb-ku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayangNya.” Contoh wanita hebat yang lain adalah Khaizuran, ibu Khalifah Harun Al-Rasyid. Khaizuran adalah mantan budak yang dinikahi oleh Khalifah al-Mahdi karena kecerdasan dan keluasan ilmunya. Ia rela mendampingi anaknya mencari ilmu ke Madinah. Jauh dari keluarga dan kehidupannya sebagai istri Khalifah. Ia mendidik anak-anaknya sehingga layak menjadi seorang Khalifah.
Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mendidik dan memberikan motivasi kepada anaknya setiap pagi. Setelah shalat subuh, sang ibunda mengajari dia geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia menanamkan keyakinan dalam diri Muhammad kecil, bahwa kelak ialah yang akan menaklukkan Konstantinopel. Benar saja, pada usianya yang baru 21, Muhammad Al-Fatih berhasil memimpin pasukan untuk menaklukkan Konstantinopel. Dalam sudut pandang feminis, perempuan yang berperan sebagai ibu itu adalah suatu yang tidak adil, padahal sejatinya perempuan mampu mencetak generasi peradaban yang gemilang.
Sementara bagaimana jika perempuan ini benar-benar akan terjun sebagaimana yang di perjuangkan para feminis tanpa mempedulikan kaidah-kaidah Islam? Maka dampaknya, bisa kita lihat dan rasakan bersama, di antaranya adalah: Kehancuran di dalam rumah tangga karena perempuan banyak yang berkarir di luar tanpa mempedulikan kewajiban-kewajiban utamanya, sehingga semakin meningkatnya tingkat perceraian, dan semakin rusaknya generasi-generasi peradaban saat ini. Sehingga negara ini akan sulit bangkit menjadi negara yang penuh kegemilangan sebagaiman pada masa kekhilafahan Islam. Untuk itu peran perempuan dengan balance for better bukanlah solusi melainkan akan menjadi malapetaka bagi individu perempuan, keluarga dan bahkan negara. Waallahua’lam bishowab