Oleh: Dewi Tisnawati, S. Sos. I (Pemerhati Sosial)
Jokowi selaku presiden RI periode 2014-2019 sekaligus sebagai capres RI periode 2019-2024 menegaskan bahwa untuk mengelola negara Indonesia butuh keberanian dan ketegasan. Bahkan ia dengan sangat lantang meski sempat tersendat, mengatakan bahwa tidak ada yang ditakutinya untuk kepentingan nasional, rakyat, bangsa negara, untuk Indonesia maju kecuali oleh Allah SWT.
Seperti dilansir pada JAKARTA - Capres Jokowi menegaskan butuh keberanian dan ketegasan dalam mengelola negara Indonesia. Ia menekankan tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah SWT. Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara besar dan tidak mudah mengelolanya. Ia mengungkap sudah punya pengalaman menjadi wali kota dan gubernur.
"Rakyat Indonesia yang saya cintai, mengelola negara sebesar Indonesia ini tak mudah, tak gampang. Sangat beruntung sekali saya punya pengalaman mengelola kota sebagai wali kota, Provinsi, dan 4,5 tahun ini mengelola negara kita Indonesia," kata Jokowi di panggung debat di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019) malam.
Pernyataan Jokowi diatas secara lahir menunjukkan kemantapan iman seorang pemimpin, namun dibalik itu pelaksanaan pemerintahannya justru mengkriminalisasi syariat Allah SWT. Padahal pemimpin yang takut kepada Allah SWT sejatinya adalah pemimpin yang takut melanggar hukum syara dan takut tidak berlaku adil pada rakyatnya.
Takut pada Allah bukan sekedar ucapan tetapi kesesuaian dengan perbuatan. Kriminalisasi khilafah ajaran Islam, salah satu bukti tidak takut pada Allah SWT dan pembubaran ormas Islam sebagai bukti ketidakadilan, ini bukan makna takut kepada Allah SWT.
Seorang pemimpin memang wajib untuk takut hanya kepada Allah dan ia juga harus menjalankan roda pemerintahannya dengan seluruh syariat Allah SWT. Namun, penguasa hari ini yang mengatakan hanya takut kepada Allah SWT adalah dusta karena tidak ada buktinya dan nyatanya mengkriminalisasi ajaran Allah SWT. Perlu diingat bila ucapan takut pada Allah hanya sekedar lips service untuk meraih suara, maka siap-siaplah menunggu perhitungan dari Allah SWT.
Semua ini terjadi hanya dalam sistem selain Islam yakni sistem sekuler yang memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Dalam sistem ini penguasa menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan, berbagai penyimpangan-penyimpangan dilakukannya akibatnya membawa kesengsaraan pada rakyatnya dan mengundang murka Allah SWT. Maka tidak pantas lagi kita pertahankan karena akan mengancam keselamatan negeri kita.
Saatnyalah kita kembali kepada sistem Islam karena Islam adalah agama yang sempurna, paripurna, dalam Islam segala aspek kehidupan telah diatur secara detail dan menyeluruh, dari mulai bangun tidur sampai bangun negara, semua telah diajarkan dalam Islam. Termasuk Islam telah memberikan tuntunan bagaimana kriteria seorang pemimpin.
Salah satu kriteria seorang pemimpin yang baik menurut Islam adalah pemimpin yang punya rasa takut kepada Allah dan merasa selalu dalam pengawasan Allah. Allah SWT berfirman yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q. S. An-Nisa ayat 59).
Takut kepada Allah adalah faktor paling penting dan paling utama untuk seorang pemimpin. Jika pemimpin sudah merasa takut kepada Allah, ia tidak akan melakukan penyimpangan terhadap syariat Allah SWT karena bukan takut kepada manusia namun takutnya hanya kepada Allah SWT yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan.
Salah satu pemimpin yang punya rasa takut kepada Allah SWT seperti yang dicontohkan khalifah Umar Bin Khattab yang sering keliling untuk mengetahui kehidupan rakyatnya karena merasa takut kepada Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya tersebut.
Adapun kita sebagai rakyat selama pemimpinnya takut kepada Allah dan menjalankan roda pemerintahannya dengan syariat Islam maka wajib seluruh rakyatnya untuk taat kepadanya bahkan harus membantunya.
Namun, ketika seorang pemimpin tidak mendengarkan arahan para ulama, tidak berlaku adil dan berbuat zalim kepada rakyatnya, maka para ulama wajib mengingkarinya begitupun dengan kita rakyatnya. Pada saat itu, menjauhi diri dari penguasa menjadi sebuah keharusan untuk menyelamatkan agama. Nabi SAW melarang untuk mendekati mereka, apalagi membenarkan tindakan zalim yang mereka lakukan.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan kebohongan mereka dan mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telaga (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedhaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telaga (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Demikianlah penerapan sistem sekuler, yang memisahkan syariat Islam dari urusan pemerintahan sehingga memunculkan berbagai problem kehidupan yang jauh dari keberkahan, maka harus dicampakkan dan menggantinya dengan siatem Islam yang akan membawa rahmatan lil'alamiin.Wallahu a'lam bush-shawab.