Oleh : Ade Irma
Rasanya sudah tidak asing dengan gerakan separatis OPM. Sebenarnya apa gerakan separatis OPM ini? Seperti dilansir oleh Wikipedia bahwa OPM adalah Organisasi Papua Merdeka adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan OPM ini sering sekali kita lihat melakukan tindak kekerasan terhadap petugas keamanan negara. Bahkan acap kali merusak bahkan tak segan-segan membunuh orang-orang yang mengusik gerakan ini. Baru-baru ini OPM melakukan Ultimatum dan OPM terus melawan dengan Kirim 7 Ultimatum, rambut lurus dan kulit putih segera dieksekusi.
Seperti yang dilansir oleh TRIBUN-BALI.COM, PAPUA - Kondisi di Papua kembali dibuat tak kondusif.
Itu lantaran, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), mengeluarkan ultimatum.
Isi ulitimatum adalah kepada warga sipil non-Papua, agar meninggalkan wilayah Kabupaten Nduga, per tanggal 23 Februari 2019.
Jika kita lihat dari kesekian ratus atau bahkan ribuan kali tindakan teror yang dilakukan kelompok separatis OPM tidak sebanding dengan tindakan penanganan yang dilakukan negara. Kondisi itu sangat kontras dengan penanganan negara terhadap kelompok-kelompok Islam yang baru hanya diduga melakukan tindakan terorisme, melalui apa yang mereka sebut “war on terrorism” (perang melawan tindakan terorisme). Untuk itu ada beberapa catatan penting yang luput dari perhatian publik terhadap ketidakadilan yang dipertontonkan oleh negara dalam penanganan dua kasus tersebut.
Pertama, tindakan pembunuhan yang sangat brutal oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) sangat disayangkan dan dikecam oleh publik, apalagi telah menyebabkan korban jiwa. Publik bisa bayangkan warga Papua yang tidak bersalah menjadi sasaran tindakan kejam dan biadab oleh gerombolan teroris OPM, yang selama ini memang menjadi duri dalam daging bagi negeri ini. Jika publik menelaah lebih jauh, bahwa tidakan “barbar” yang tidak berperi kemanusiaan tersebut bukan kali ini saja, namun tindakan serupa sudah tidak terhitung banyaknya pada masa-masa sebelumnya, sejak diprokalamirkannya OPM tahun 1965.
Kedua, sejatinya kelompok separatis OPM telah memenuhi tiga unsur tindakan terorisme, sebagaimana UU Anti Terorisme, yaitu (1) Menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat. Jelas OPM telah melakukan penyanderaan, bahkan penyiksaan yang biadap terhadap tersandera hingga menimbulkan korban jiwa. Tentu tindakan itu merupakan tindakan yang menyebabkan ketakutan terhadap masyarakat. (2) Melakukan kekerasan fisik. OPM telah banyak melakukan tindakan menyerang pihak keamanan baik unsur TNI maupun Polri, juga pejabat sipil dan masyarakat umum dengan kekuatan senjata. Dan tindakan ini juga telah menimbulkan korban jiwa yang tidak terhitung jumlahnya sejak berdirinya OPM hingga sekarang. (3) Mempunyai tujuan politik tertentu. Jelas sekali dalam AD/ART-nya OPM menyatakan dengan tegas ingin memisakan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian jelaslah telah memenuhi unsur tindakan terorisme. Namun anehnya, nyali rezim sangat kecil terhadap arogansi OPM, hanya sekedar membuat pernyatan bahwa OPM adalah organisasi terorisme, rezim tidak berani.
Ketiga, jika rezim ini mau besikap tegas dan bersungguh-sungguh hendak menyelesaikan ancaman separatis di Papua, seharusnya OPM segera ditumpas habis, karena telah melakukan tindakan yang terkategori teroris, makar, dan separatis yang telah berlangsung sekian puluh tahun, sejak tahun 1965, yang telah menciderai kedaulatan negeri ini. Bahkan sekedar untuk menyebut OPM sebagai kelompok teroris saja, rezim ini “kaku lidahnya”. Meski OPM jelas-jelas telah merongrong kadaulatan NKRI, namun kelompok separatis-teroris tersebut tidak pernah dicap sebagai kelompok yang anti Pancasila. Ini berarti negeri ini telah tergadai secara politik dan tunduk dalam kontrol negara-negara Barat yang sangat bernafsu memisahkan Papua dari pangkuan ibu pertiwi. Juga patut disayangkan sebagian elemen yang sering meneriakkan NKRI harga mati dan dengan semangat menuduh Ormas Islam dengan tuduhan keji “anti Pancasila”, ternyata sikapnya berubah drastis menjadi bisu, diam seribu bahasa, dan nyaris tak terdengar suaranya terhadap sepak terjang OPM.
Sebenarnya dimana penjaga NKRI disaat OPM sedangkan beraksi. Kenapa seolah penjaga NKRI itu hilang ditelan bumi sedangkan saat Islam melakukan perintah agama berupa dakwah contohnya disebut dengan tindakan radikalisme atau bahkan terorisme? Kemana Densus 88? Disaat Papua dalam keadaan memanas harusnya mereka ada di garda terdepan untuk melindungi warga sipil yang tak bersalah. Bukankah tugas Densus 88 adalah menangkap terroris. OPM adalah bagian dari teroris yang sangat membahayakan. Mengancam kedaulatan karena disintegrasi Papua dari NKRI itu adalah cita-cita yang selalu OPM perjuangkan.
Banser yang mengaku paling Pancasila dan paling cinta NKRI juga layak berada di sana. Karena ini berkaitan dengan menjaga kedaulatan NKRI. Namun permasalahannya mereka berani atau tidak dikirim kesana. Selama ini gerak mereka yang sering memicu kontroversi hanya berada diwilayah yang sangat aman.
Keamanan dalam islam sangat berkaitan erat dengan keimanan. Ketika keimanan lenyap maka akan tergoncangkan. Orang-orang yang meneriakan keamanan, ketertiban, dan keadilan itu tidak akan tercapai ketika mereka mencampakan nilai-nilai islam. Karena stabilitas keamanan akan tercapai dengan kembali pada syari’at islam. Menegakan hukum-hukum islam dan mengaplikasikan etika yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Alah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengamalkan Kitabullah dan sunnah Rasululah untuk menggantikan rasa takut mereka dengan curahan rasa aman. Dan janji Allah pasti selalu terlaksana.
Dalam Negara ada beberapa cara yang di tempuh dalam menegakan keamanan. Ada dengan jalan diktrator yaitu dengan jalan pemukulan dan penganiayaan, memaksakan kehendaknya adalah jalan menuju kemanan. Namun ada juga dengan jalan melepaskan kendali bagi bagi para penjahat dengan alasan bertentangan dengan HAM, yaitu Negara pengusung Liberalisme.
Pada kenyataannya kedua hal tersebut tidak membuat Negara berada dalam keamanan yang di inginkan. Kejahatan terbukti semakin hari semakin menggurita. Darah tertumpah dan nyawa melayang sudah menjadi tayangan berita biasa tak jauh beda dengan acara gosip Televisi.
Berbeda dengan Islam Negara sangat menjamin keamanan masyrakatnya. Hukum di tegakan dengan adil, orang akan berpikir ribuan kali untuk berbuat kejahatan. Karena hudud/ sanksi yang di berlakukan islam pada seorang penjahat sangat berat. Nyawa di balas dengan nyawa, dan darah di balas dengan darah. Ini adalah hukum yang sangat adil, tindakan preventif yang memberikan efek jera dan terhindar dari aksi balas dendam.
Hudud diciptakan benar-benar untk menciptakan keamanan masyrakat. Qishash untuk orang yang membunuh bertujuan untuk memelihara darah manusia. Potong tangan untuk pencuri bertujuan untuk menjaga harta milik umat. Dan rajam bagi para pejinah bertujuan untuk memelihara kehormatan.
Keamanan yang hakiki hanya akan terwujud dengan menghidupkan sprit totalitas penghambaan terhadap Allah SWT. Dengan menegakan Syari’at Allah.
Karena orang yang tidak memiliki ketakutan terhadap Allah tidak memiliki rasa adanya pengawasan Allah. Jiwanya akan liar, bebas tak terkali sehingga hidupnya tercipta untuk berbuat kerusakan dimuka bumi. Jadi mengharapkan ketentraman dan keadilan pada Negara demokrasi itu adalah mimpi. Tidak menegakan Syari’at Allah adalah faktor timbulnya kerusakan dimuka bumi.