Oleh: Sumiati (Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif )
Negara berkewajiban meriayah rakyatnya, hingga rakyatnya merasa puas dan merasa aman dalam lindungan pemerintah yang bertanggung jawab.
Beberapa waktu lalu Papua kembali memanas. Dikarenakan OPM terus melawan dengan mengirimkan 7 ultimatum yang berambut lurus dan kulit putih. Kondisi Papuapun kembali tidak kondusif. Isi ultimatum adalah kepada warga sipil non-Papua, agar meninggalkan wilayah Kabupaten Nduga.
Ultimatum tersebut disampaikan pentolan TPNPB-OPM, Egianus Kogeya melalui media sosial Facebook. Satu diantara ultimatum berisi ancaman tembak kepada warga non-Papua yang masih ada di Nduga. Karena warga sipil non-Papua dianggap TPNPB sebagai anggota TNI/Polri yang menyamar. Selain itu Egianus yang menyebut dirinya Panglima Kodap 111 Nduga, menegaskan bahwa TPNPB tidak akan pernah berhenti perang sampai ada pengakuan kemerdekaan Papua dari RI.
Apa yang terjadi terlihat jelas dan masyarakatpun bisa menilainya.
Betapa penguasa tidak menunjukan keberpihakan pada rakyatnya. Disatu sisi menahan kebangkitan umat Islam, disisi lain berpihak kepada yang ingin memberontak dan dibiarkan mereka dipersenjatai asing. Dan dapat dinilai penguasa mendua. Ini semakin membuat masyarakat geram dengan sikap penguasa, semakin tidak percaya, dan semakin menjauh dari penguasa. Inilah bukti kegagalan penguasa antek asing aseng yang membuat bumi pertiwi semakin tidak dihargai dimata dunia.
Bagaimana Islam menghadapi pemberontakan dalam kekhilafahan?
Didalam perang shifin antara bulan Mei-Juli 657 Masehi terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi diantara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Thalib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam )pada 1 shafar tahun 37 Hijriah.
Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Talib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.
Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”
Dalam "Minhaj As Sunnah" (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.”
Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.
Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”
Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al Farid" (4/3140) disebutkan bahwa kedua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.
Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam "Minhaj As Sunnah" (6/237).
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang. Namun menurut buku Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou'yb pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam "Tarikh As Saghir" (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam "Al Majma’ Az Zawaid"(7/244). ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ashmenjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia.
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah. Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran berakhir.
Syaikh Taqiyyuddin An nabhani menjelaskan dalam kitabnya begitulah Islam menuntaskan permasalahan bughat, diperangi tapi bukan dalam rangka memusnahkan namun lebih ke mendidik. Ketika mereka yang memberontak sadar atas kesalahannya dan ingin kembali menjadi bagian dari kekhilafahan, maka khalifahpun merangkulnya kembali.
Wallaahu a'lam bishawab.