Oleh: N. Vera Khairunnisa
Tidak lama ini, dunia dikagetkan dengan berita pembantaian kaum muslim di New Zealand. Seorang pria bersenjata menembaki pria, wanita, dan anak-anak di dalam masjid dari jarak dekat menggunakan senjata api semi-otomatis. Karena aksi kejinya, puluhan korban meninggal dunia dan sebagian mengalami cedera.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, teroris bernama Brendon Tarrant yang melakukan penembakan masjid di Selandia Baru adalah warga negaranya. (www. tribunnews. com, 15/03/2019)
Namun pernyataan tidak masuk akal muncul dari Senator Australia Fraser Anning. Dia menyalahkan imigran Muslim atas teror ini. Anning yang dikenal kontroversial menyebut penembakan massal yang dilakukan Brenton Tarrant dan sejumlah pelaku lain itu menyoroti meningkatnya ketakutan atas bertambahnya keberadaan Muslim. (www. detik. com, 18/03/2019)
Apakah bisa dibenarkan sebuah tindakan keji hanya disebabkan sebuah imigrasi? Jelas ini menunjukkan perilaku amat rasis. Pernyataan Anning memicu aksi nekat seorang remaja berusia 17 tahun bernama Will Connolly. Connolly mengepruk kepala Anning yang sedang diwawancara media dengan menggunakan telur hingga telur tersebut pecah berantakan ke pakaian Anning.
Ketika mengetahui bahwa yang menjadi tersangka adalah warga negaranya, semestinya pihak pemerintah Australia bertanggung jawab dan berupaya keras membantu Selandia Baru untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Bukan malah membuat statemen rasis.
Begitupun perdana menteri Australia. Dia hanya menyatakan, "Kedua negara bukan hanya sekutu atau rekanan, kedua negara adalah keluarga. Sebagai keluarga kami menyatakan rasa sedih, terkejut, marah terkait insiden ini."
Sikap pemimpin di beberapa negeri yang bermayoritas muslim, tidak jauh berbeda. Mereka tidak bisa melakukan lebih dari sekadar bersedih dan mengutuk pelaku. Padahal kesedihan dan kutukan mereka, tidak membuat musuh gentar. Sehingga bisa saja kasus semacam ini terulang di kemudian.
Inilah sikap pemimpin dunia dalam sistem kapitalis. Mereka tidak adil. Ketika teror menimpa non muslim, dan yang menjadi pelaku adalah muslim, semua serentak bergerak. Bahkan sampai dibuat agenda war on terorism. Sebuah agenda global untuk melawan teroris, yang pada faktanya kaum muslim menjadi pihak tertuduh.
Berbeda jika teror menimpa kaum muslim. Mereka cenderung tidak peduli. Dari sini bisa mengambil kesimpulan bahwa, selama kaum muslim tidak memiliki pemimpin yang senantiasa siap menjadi pelindung, maka selama itu pula kaum muslim akan selalu dalam posisi tertindas.
Dan pemimpin yang mampu menjadi pelindung bagi kaum muslim, hanya akan lahir dari sebuah negara yang menerapkan Islam secara kaffah, itulah khilafah. Rasulullah Saw. bersabda:
إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Sayangnya, ketiadaan khilafah juga menghalagi lahirnya pemimpin yang laksana perisai itu. Justru hari ini, umat Islam yang selalu jadi tameng buat para penguasa, untuk melindungi segala kepentingan dan kebusukan mereka.
Lain halnya ketika kekhilafahan masih ada. Keberadaan pemimpin laksana perisai bukan omong kosong semata. Hal ini sudah terbukti dalam tibta emas sejarah peradaban Islam.
Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, Harun Ar-Rasyid berhasil menaklukkan Bizantium. Ketika kaisar Romawi yakni Nicephorus menulis surat meminta Harun mengembalikan harta yang sudah diberikan oleh kaisar sebelumnya. Jika Harun tidak mau, Nicephorus mengancam dengan pedang. Namun, Harun menjawab surat itu dengan sangat tegas dan penuh wibawa..
Dari Harun ar-Rasyid, Amirul Mukminin, kepada Nakfur, Anjing Romawi.
Aku sudah membaca suratmu, jawabannya akan kamu lihat, bukan kamu dengar. (Dalam Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa hal.349)
Pada hari itu juga khalifah menggerakkan seluruh mujahidin melakukan long-march ke pusat Bizantium, Konstantinopel.
Nicephorus kalah telak, ia mengajukan perdamaian dengan membayar upeti dan membebaskan tawanan Muslim. Harun menerima tawaran Nicephorus.
Begitu pula denga khalifah Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah. Dia memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi. Melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.
Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Semua ini adalah gambaran contoh dari fungsi junnah para Khalifah.
Dalam sistem khilafah, aksi teror yang melanda kaum muslim di sebuah negeri kufur, akan menjadi jalan bagi khilafah untuk melakukan futuhat. Khalifah akan mengirim pasukan ke negeri tersebut, mengajukan dua pilihan. Pertama, mengikat perjanjian dengan khilafah. Kedua, tunduk dalam kekhilafahan dan membayar jizyah.
Maka, jika merindukan pemimpin yang laksana perisai, jalan satu-satunya adalah dengan berjuang mendirikan daulah khilafah 'ala mingajin nubuwwah. Wallahua'lam.