Oleh : Muroah
(Muro'ah-member AMK)
Masyarakat kembali diberikan janji-janji oleh pemimpin. Terbaru mereka akan mendapatkan sejumlah kartu yang menjadi program salah satu capres jika kembali terpilih. Program tersebut disampaikan pak Jokowi pada saat pidato kebangsaan di Sentul International Convention Center, Jawa Barat, Minggu (24/2/2019).
Program tersebut berupa tiga kartu baru yaitu, Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-Kuliah), dan Kartu Pra-kerja. (https://nasional.kompas.com)
Tiga kartu ini melengkapi kartu-kartu sebelumnya yang sudah dijalankan, yaitu kartu PKH, kartu Indonesia sehat dan kartu indonesia pintar.
Dalam keterangannya capres nomor urut satu ini mengatakan bahwa kartu prakerja akan diberikan kepada lulusan SMA sederajat, dan selama mereka belum mendapatkan pekerjaan maka mereka akan mendapatkan gaji. Disinilah kemudian pro kontra muncul. Banyak masyarakat yang mempertanyakan program tersebut, berhubung masalah-masalah honorer saja belum selesai, lalu bagaimana mungkin penggangguran mendapatkan gaji.
Terkait rencana program terssbut, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal pun memberikan penilaiannya.
"Jadi yang lebih urgent dilakukan oleh pemerintah semestinya mendorong penyediaan lapangan kerja formal sebanyak-banyaknya, khususnya untuk bisa menyerap penganggur muda yang persentasenya paling tinggi ini," kata Faisal saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (5/3/2019). (https://m.detik.com)
Jika tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat, bisakah terealisasi dengan bermacam kartu tersebut? Setidaknya, ada dua kesalahan dalam realisasinya. Pertama kesalahan paradigmatik, kedua kesalahan implementatif.
Terkait kesalahan paradigmatik, program ini hanyalah solusi tambal sulam karena rusaknya ideologi kapitalis. Kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan merupakan kebutuhan asas masyarakat. Sehingga pelayanannya harus diberikan pada semua elemen masyarakat, namun akibat penerapan ekonomi kapitalis terjadilah jurang kesenjangan sosial yang jauh. Hanya masyarakat kaya saja yang mampu menikmatinya, disinilah kemudian muncul solusi-solusi parsial demi menjaga dan meminimalisir kemarahan masyarakat kurang mampu. Ibaratnya bermacam kartu tersebut sebagai pelipur lara, untuk menutupi rusaknya kehidupan dibawah ideologi kapitalis.
Sementara kesalahan implementatif terlihat dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi dilapangan. Misalnya, distribusi yang tidak tepat dan salah sasaran.
Kesejahteraan memang menjadi dambaan setiap insan. Namun di era ekonomi kapitalis ini hal tersebut menjadi sulit bagi rakyat. Kesejahteraan menjadi mimpi panjang untuk diwujudkan. Adanya kartu-kartu yang dibagikan menunjukkan tidak adanya konsep besar mensejahterakan rakyat. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Ekonom Center of Reform on Economics atau Core Piter Abdullah.
"Tapi kebijakan ini sekaligus menunjukkan tidak adanya konsep besar bagaimana mensejahterakan masyarakat," kata Piter saat dihubungi, Rabu, 27 Februari 2019. (https://www.google.com/amp/s/fokus.tempo.co/amp/1180104/pro-kontra-tiga-kartu-sakti-jokowi)
Jika kita mau menelisik lebih jauh kekayaan negeri ini, kita akan mendapatkan fakta yang fantastis berupa kekayaan yang melimpah. Indonesia memiliki SDA tambang berupa minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, perak, timah, tembaga, nikel, SDA kehutanan dan kelautan. Jika semua kekayaan tersebut ditotal akan mencapai nominal sebesar 2.822 triliun.
Bahkan menurut pengamat energi Kurtubi di tahun 2014 aset Indonesia mencapai ratusan ribu triliun rupiah.
Itu perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi. Ini yang ketemu saja di perut bumi, nilainya saat ini sekitar Rp 200 ribu triliun," ungkap pengamat energi Kurtubi saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (28/1/2014)
https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/812149/indonesia-punya-kekayaan-sda-hingga-rp-200-ribu-triliun
Dengan kekayaan sebegitu fantastis, kenapa kita hanya sibuk dengan kartu-kartu sakti yang tak sakti. Padahal jika kekayaan itu dikelola secara mandiri tentu kesejahteraan bukan lagi mimpi. Sayang, pengelolaan SDA yang melimpah diserahkan kepada asing, sementara masyarakat hidup merana. Pengelolaan SDA mandiri hanya ada dalam konsep ekonomi islam. Sayang Islam tidak diberikan ruang untuk menyelesaikan masalah ini.