Oleh:
Riska mayasari, SPd ( Penggiat tulis opini Palembang)
Viralnya video deklarasi atau pernyataan sikap sejumlah orang yang tergabung dalam Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Kota Semarang dan Siswa-Siswi Rohani Islam (Rohis) SMA-SMK se-Kota Semarang berkumpul pada Sabtu (16/3), Tentu saja, acara ini mendapat dukungan penuh dari Walikota Semarang, Hendrar Prihadi. Siapa Hendrar Prihadi ? Dia adalah seorang fungsionaris PDI-P. Melihat sepintas data ini kita tidak terlalu heran apabila muncul deklarasi ini. Jangankan Walikota Semarang, Gubernur Jateng yang juga sama-sama fungsionaris PDI-P dengan jumawa menggelar Apel Kebangsaan 18 Miliar. Jadi memang aktornya adalah Politisi Sekular yang mengaku-aku paling Indonesia .
Dan isi dari deklarasi ini sungguh terlihat janggal, Mereka beramai-ramai menyerukan dua hal; pertama, mendukung penuh kepemimpinan Patahana, padahal sebagaimana kita ketahui bahwa ASN tidak diperkenankan untuk berkampanye. Kedua, menolak sistem negara khilafah di Indonesia, padahal sebagai guru agama Islam seharusnya mereka tahu bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam.
Yang menjadi pertanyaan besar, dan yang ingin saya kritisi, Apakah benar para guru agama Islam yang ikut dalam deklarasi itu tidak tahu kalau khilafah Islamiyyah adalah bagian dari ajaran Islam? Apakah benar para guru agama Islam itu tidak pernah membaca berbagai pendapat para ulama ahlussunnah wal jamaah tentang khilafah Islamiyyah? Apakah para guru agama Islam itu tidak tahu bahwa tidak boleh seorang muslim mengabaikan satu ajaran Islam dan memilih ajaran islam yang lain?
Jika semua pertanyaan itu jawabannya adalah benar, sungguh sangat disayangkan.
Saya berprasangka baik saja bila mereka hanyalah ‘korban’ yang digiring pada sikap tidak terpuji dengan pola ditakut-takuti ‘Islam sebagai ancaman’. Bahwa khilafah dan Syariat Islam itu berbahaya bagi bangsa ini, menyebabkan perpecahan, mengancam warga nonmuslim, dsb.
Dan jika ini juga benar, berarti propaganda Barat dalam memonsterisasi ajaran Islam berhasil. Dan kaum muslimin termakan issu bahwa Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan yang baik, yang diwahyukan Allah Swt, dicap demikian mengerikan. Khilafah dipersekusi. Difitnah bakal memecah-belah. Dituding membahayakan negeri. Dinista lebih buruk dibanding demokrasi. Dipropagandakan, kalau Khilafah tegak, akan terjadi pertumpahan darah. Orang kafir akan dihabisi. Tidak akan ada toleransi. Tidak ada lagi kebebasan bagi umat agama lain. Wanita-wanita akan ‘disembunyikan’ di rumah-rumah. Dilarang sekolah, berkarier, bertamasya, berkendara dan gambaran terkekang lainnya. Sementara laki-laki harus berjenggot. Bergamis. Beristri banyak, dan ilustrasi buruk lainnya. belum lagi gambaran mengerikan pada para pelaku kriminal. Potong tangan. Hukum cambuk. Rajam. Qishosh. Tak terperi membayangkan.
Itulah kejamnya labelisasi terhadap ajaran Islam. Umat Islam sendiri dibuat takut, phobi dan bahkan benci pada wahyu Ilahi. Jauh sebelum mau mempelajari agamanya sendiri.
Sangat disayangkan jika ini benar-benar menimpa kaum muslimin, terutama para tenaga pendidik. Seharusnya mereka mencari tahu dulu dan berfikir secara ilmiah tidak asal percaya begitu saja bila khilafah yang merupakan ajaran Islam adalah ancaman dan buruk bagi umat Muslim di Indonesia. Sementara Allah SWT. berfirman:
Tidaklah kami turunkan al-Qur’an untuk menyusahkan (TQS. Thaha:2)
Deklarasi penolakan khilafah – yang sesungguhnya ajaran Islam – adalah sikap kontradiksi dan kontraproduktif dengan misi pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang seharusnya menjadikan para siswa muslim taat sepenuhnya pada Allah SWT. Lebih-lebih lagi, deklarasi itu berbahaya karena berisi penolakan pada salah satu ajaran Islam, yang oleh para ulama disebut sebagai taj al-furudl (mahkota kewajiban) dan min a’dzom al-wajibat (kewajiban yang paling agung). Padahal Ulama Indonesia Syaikh Sulaiman Rasjid dalam Bukunya Fiqih Islam, dimana buku ini merupakan buku yang pernah menjadi rujukan para siswa Madrasah Aliyah di negeri ini pada salah satu babnya secara khusus membahas tentang Khilafah.
Namun apabila para guru agama itu belum seutuhnya memahami hukum fikih dan sejarah Khilafah, maka lebih mulia dan tepat bila para guru dan siswa bersama-sama mendeklarasikan penentangan terhadap sesuatu yang amat jelas untuk ditolak karena berbahaya, semisal menolak pemimpin pendusta, pemimpin yang menjual aset negara, pemimpin yang tidak adil, pemimpin yang tidak berpihak pada umat Muslim. Atau pemimpin yang tidak menghargai guru, yang justru ‘melarikan diri’ pada saat para guru datang meminta pertolongan, maka sampaikan pada publik bahwa pemimpin seperti itu tidak pantas dipilih kembali.
Sebagai penutup, saya mengajak para guru agama untuk bersama-sama menghidupkan budaya literasi, gemar membaca, berdiskusi secara ilmiah, lalu munculkan ketundukan pada ajaran Islam yang telah dibahas jelas oleh para ulama mu’tabar, bukan pada ulama dunia yang menjual agama untuk mendapat jatah hidup.
Wallahu a'lam bish-showab.