Oleh: Dewi Puti Handayani, S.Pd.
(Member Penulis Ideologis)
Usul penghapusan istilah kafir bagi non-muslim menjadi perbincangan hangat di awal bulan ini. Bagaimana tidak, seorang Alim Ulama Nahdhatul Ulama (NU) pada sidang komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, musyawarah nasional NU dikota banjar pada tanggal 27-01 Maret 2019 mengusulkan agar NU tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam. Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para non-muslim di Indonesia.
Sebagaimana pernyataan Moqsith Ghazali di pondok pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar (28/02/2019) bahwa sebutan kafir "Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," (TEMPO.CO, Banjar).
Bagaimana mungkin seorang ulama mengatakan ungkapan kafir terhadap nonmuslim dikatakan sebagai kekerasan teologis. Sementara, ungkapan teroris, radikal, anti NKRI, Intoleran, dll yang diditujukan kepada kaum muslim yang hanya menolak dipimpin oleh pemimpin kafir, yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah, tidak dikatakan sebagai kekerasan teologis. Faktanya, dalam konteks global, yang banyak menjadi korban baik secara teologis, psikis maupun fisik saat ini adalah kaum Muslim yang diperlakukan secara semena-mena oleh kaum kafir. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Muslim Palestina oleh kekejaman kafir Yahudi Israel, Rohingnya oleh kebrutalan rezim kafir Budha, Uighur oleh keganasan rezim kafir komunis Cina, Kashmir oleh kejahatan kafir Hindu, dsb.
Mirisnya lagi, usulan ini mendapat dukungan penuh dari ketua umum PBNU Said Aqil Siraj. Ia mengatakan usulan penghapusan penyebutan kafir kepada warga negara Indonesia nonmuslim, merujuk pada sejarah Nabi Muhammad saat hijrah ke Kota Madinah. Said menjelaskan (Jum’at, 01 Maret 2019) ”Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad masih berada di Kota Mekah dan belum pindah ke Madinah. Saat itu label kafir ditujukan untuk menyebut orang-orang yang menyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar. Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah tidak ada istilah kafir untuk warga Madinah. (TEMPO.CO, Banjar)
Benarkah Demikian?
Istilah kafir sebenarnya murni istilah yang berasal dari Allah SWT dalam firman-Nya untuk membedakan antara kaum yang beriman dengan kaum yang ingkar. Kaum yang beriman adalah kaum yang meyakini keenam rukun iman dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dalam perbuatan. Sebaliknya mereka yang tidak meyakini dalam hati, tidak mengucapkan dengan lisan, dan tidak mengamalkan dalam perbuatan, disebut ingkar atau ‘Kafir’.
Allah SWT secara tegas memerintahkan kaum muslim untuk mengatakan orang-orang diluar islam dengan sebutan kafir. Sebagaimana firman Allah pada surah Al-Kafirun:
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir” الْكَافِرُونَ أَيُّهَا يَا قُلْ
Kata ‘qul’ dalam ayat tersebut adalah kata perintah ‘katakanlah’, artinya Allah memerintahkan kita umat islam menyebut mereka dengan panggilan ‘kafirun’.
Rasulullah SAW juga menggunakan kata kafir didalam piagam Madinah (Shahifah al-Madinah) yang disahkan di Kota Madinah yang terdapat pada Pasal ke-14 Piagam Madinah yang berbunyi:
١٤ :وَ لاَ يَقْتُلُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنًا فِى كَافِرٍ وَ لاَ يَنْصُرُ كَافِرًا عَلَى مُؤْمِنٍ.
Pasal 14: Seorang Mukmin tidak boleh membunuh Mukmin lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang Mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang Mukmin.
Hal ini jelas bertentang dengan apa yang diungkapkan oleh ketua umum PBNU Said Aqil Siraj yang mengatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah menyebutkan kata kafir terhadap orang madinah”.
Lalu Kenapa Penggunaan Kata Kafir ini Ingin Dihilangkan?
Penggunaan kata kafir untuk menyebut non-muslim di Indonesia harus diganti dengan sebutan ‘Muwathinun’ atau warga Negara untuk menjaga keutuhan bangsa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Moqsith Ghazali yang didukung oleh Ma'ruf Amin lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 2 Maret 2019 “Ya ini supaya kita menjaga keutuhan. Sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, diskriminasi” (TEMPO.CO, Banjar).
Sejak Negara Indonesia dikatakan merdeka tidak ada umat islam yang keberatan jika non-muslim dikatakan warga Negara. Artinya umat islam mengakui mereka juga sebagai warga Negara. Dengan adanya pelarangan penyebutan kata kafir ini, seolah-olah umat islam mempermasalahkan kewarganegaran mereka. Padahal selama ini hak muslim dan non-muslim sebagai WNI adalah sama, kecuali satu hal yaitu menjadi pemimpin. Karena apapun system yang diterapkan umat islam tetap haram di pimpin oleh pemimpin kafir.
Selama umat islam memandang mereka sebagai kafir, maka selama itu juga umat islam yang mayoritas di negeri ini tidak akan mau dipimpin oleh kafir. Karen Allah jelas melarang kaum muslim dipimpin oleh pemimpin kafir, sebagaimana yang tertera pada surah Al-Maidah 51, yang melarang menjadikan kafir sebagai pemimpin kaum muslim. Larangan itu tetap berlaku sekalipun ini bukan negeri islam, karena tidak ada pengecualian dari Allah yang membolehkan kafir sebagai pemimpin.
Lalu apa tujuan mereka menghilangkan penggunakan kata kafir?. Tujuannya adalah mengaburkan makna kafir dimata umat islam, dari kafir menjadi warga Negara. Sehingga ketentuan dari islam tidak lagi bisa dikenakan kepada mereka. Sehingga mereka pun punya hak yang sama dengan muslim untuk menjadi pemimpin.
Upaya-upaya kaum kafir untuk merusak Islam akan terus terjadi sepanjang rezim sekuler dan system pemerintahan demokrasi berkuasa ditengah umat. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan Islam. Satu-satunya solusi hanyalah dengan penerapan islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu A’lam Bi Ash-Shawwab.