Media Mainstream , Corong Bagi Rezim


                  Oleh : Ulfah Novianti, S.T

       Beberapa hari lalu tengah diperingati Hari Pers Nasional (HPN), dalam acara tersebut Presiden Joko Widodo mendapatkan penghargaan medali kebebasan pers, penghargaan tersebut tentu saja menuai banyak kritik dari berbagai kalangan karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Pasalnya, penghargaan tersebut justru diberikan kepada Presiden disaat muncul fenomena ‘blackout’ (pemadaman) pada berita-berita yang merugikan penguasa. 


     Diantara berita yang paling mencolok adalah pemberitaan reuni akbar alumni 212, unjuk rasa ribuan guru honorer, dan unjuk rasa Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia. Berita tersebut tidak muncul secara gamblang di media mainstream, jikapun ada beritanya tidak menjadi headline dan judulnya pun tidak sesuai isi dan fakta. Media mainstream seolah mati ditangan penguasa. Selain itu, yang memprihatinkan saat ini kita lihat banyak para aktivis yang bersuara di media sosial dilaporkan dan ditangkap dengan tuduhan tanpa alasan hukum yang jelas. Mereka menggunakan pelanggaran UU ITE sebagai senjata yang tajam kepada pihak oposisi, dan justru berbanding terbalik jika pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang pro-rezim. Karenanya, sangat mencolok mata bahwa rezim ini menggunakan media sebagai ‘brosur’ pemerintah yang dipenuhi berita manipulatif, meracuni hati dan fikiran masyarakat. Bukan sebagai pengawas jalannya pemerintahan sebagaimana janji pers yang menjunjung tinggi netralitas. Sehingga wajar jika akhirnya kepercayaan publik terhadap media mainstream cenderung melemah, dan sumber informasi jadi beralih hampir sepenuhnya kepada 'jurnalisme warga' yang ada di media sosial. 


    Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi keempat. Namun, dengan kondisi yang kita rasakan saat ini bukankah kita mempertanyakan, benarkah media dalam sistem demokrasi bisa berjalan semestinya? Tentu saja tidak. Sebab, dalam sistem demokrasi liberal, kepentingan umum seringkali tidak dirumuskan secara jelas, sehingga interpretasi yang sah dilakukan secara sepihak (justification) untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan.


   Media dijadikan alat politik bagi sebuah negara, media dapat mempengaruhi kebijakan institusi politik dan dijadikan katalis (penetral) ketika terjadi konflik perubahan institusional. Hal ini tidak dapat dihindari, karena media memang alat yang paling efektif untuk melakukan hegemoni dan mempengaruhi masyarakat. Jika kita lihat perspektif Kapitalisme, maka kondisi ini yang menimbulkan blunder, di mana media massa harus dijaga independensinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Disisi lain mereka juga mendapat intervensi dari pihak-pihak lain, baik pemerintah, pemilik, maupun institusi politik. Jadi media tidak sepenuhnya bersifat independen. Media akan selalu dipengaruhi oleh intervensi tertentu. Dalam kaitannya dengan institusi politik, media memiliki relasi yang kuat sebagai alat untuk menyebarkan ideologi dan merangkul massa untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak mengherankan, banyak institusi politik yang berebutan menguasai media, karena ‘menguasai media berarti menguasai masyarakat’.


    Berbeda dengan peran media dalam sistem Islam, mereka adalah mercusuar negara dalam propaganda dakwah menebar risalah Islam yang menjadi Rahmatan lil ‘Alamin, Media pun memiliki fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam Negara  yang diatur oleh pemerintah. Adapun informasi selain hal tersebut, seperti informasi keseharian, program atau acara politik, pemikiran dan sains, serta informasi tentang peristiwa dunia, juga mendapatkan arahan dan kontrol dari negara. Negara akan mengeluarkan undang-undang yang memuat panduan umum pengaturan informasi yang mendukung pengokohan masyarakat Islam yang kuat memegang syari’ah Islam sehingga melahirkan banyak kebaikan dari dan di dalam masyarakat.


       Di tengah masyarakat Islam tidak ada tempat bagi penyebaran pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manupulatif.  Karena baik negara maupun warga negara terikat dengan pemahaman hukum syara’ yang melarang penyiaran berita bohong, propaganda negatif, fitnah, penghinaan, pemikiran porno dan a-moral,.  Sehingga media menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat. Berbeda nyata dengan media massa mengabdi pada ideologi kapitalisme sekuler dan sistem negara demokrasi liberal seperti saat ini, media massa telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, dan membejatkan moral. Karenanya seruan penyadaran itu wajib ditujukan untuk mewujudkan lembaga penyiaran atau media massa sesuai dengan ketentuan Islam, dengan terlebih dulu merealisasikan adanya Negara yang menerapkan sistem islam seperti khilafah Islam yang dengannya terwujud lembaga dan media massa Islam yang konstruktif membangun peradaban hidup yang mulia. Wallahu A’lam

1 Komentar

  1. Media itu tdk pernah berdiri sendiri karena keberadaannya memang mewajibkan untuk dimanfaatkan. Namun yg menjadi soal adalah akan dimanfaatkan utk apakah media tsb. Nah ini tergantung pd siapa yg ada "dilingkaran" media, pemerintah pasti ada. Sangat mungkin jk media digunakan oleh pemerintah sbg alat politik. Oleh karenanya, media-media yg ada sekarang tdk terlepas dr intervensi pemerintah. Maka sangat tepat jk kita katakan media adalah corong pemerintah utk membuat berbagai opini sekaligus "mencuci otak" masyarakat.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak