Masih Adakah Keraguan?

Oleh. Sari Isnawati



Seringkali jika kita membicarakan tentang penerapan syariat dan khilafah maka muncullah pertanyaan-pertanyaan, “Jika syariat Islam diterapkan, bagaimana dengan agama yang lain? Bagaimana dengan non muslim? Indonesia ini kan terdiri dari banyak agama, bagaimana?”


Lalu bagaimana jika kita balik bertanya, “Anda sibuk memikirkan nasib non muslim jika syariat Islam diterapkan. Pernahkah Anda berpikir sebaliknya, bagaimana nasib Umat Islam karena tidak diterapkannya syariat Islam?”


Kita ketahui bersama banyak sekali kerusakan dan penderitaan yang dialami umat Islam akibat tidak diterapkannya syariat.


Salah satu penderitaan yang paling menyayat hati adalah derita saudara kita di Gaza Palestina. Mereka dibunuh, disiksa, direnggut kehormatannya. Tak ada yang membela karena politik kita belum berlandaskan syariat, belum ada al junnah perisai umat Islam. Maka justru nasib saudara muslim kita di Gaza Palestina lebih membuat kita gelisah dibanding yang lain. 


Belum lagi konflik di Suriah yang tak kunjung reda, genosida terang-terangan yang terjadi di Rohingya, pembantaian muslim Uyghur, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di mana-mana umat Islam dibantai tanpa menyisakan satu peradaban apapun. Apakah kita memikirkan nasib mereka? Bukankah seharusnya innamal mu’minuna ikhwah.


Tanpa diterapkannya syariat, akhlak dan moral generasi muda kian rusak parah. Pergaulan bebas tanpa ada batas. Perekonomian berbasis riba makin digalakkan. Miras yang nyata-nyata dilarang agama pun dilegalkan. Hukum Allah hanya sebagai pajangan tidak diterapkan. Paham sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan semakin nyata ditegakkan bahkan oleh rezim sendiri.


Bagaimana Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur akan terwujud? Bagaimana Allah tidak akan murka melihat kezaliman dan kemaksiatan yang terus-menerus dipertontonkan. Berbagai teguran sudah Allah berikan, tapi kitanya yang masih saja tidak peka, bencana yang datang silih berganti menimpa.


Dan bagaimana nasib umat non muslim jika syariat Islam diterapkan?

Teringat sepenggal kisah tapi syarat penuh makna di saat kekhilafahan terakhir Turki Utsmani, saat kholifah harus terusir dari istananya.


Ketika itu Sultan Abdul Majid meninggalkan istananya di suatu subuh, ada seorang Yahudi yang memberikan secangkir teh hangat di dalam kereta. Beliaupun berterima kasih kepada orang Yahudi itu, "Terima kasih atas kebaikan Tuan"


Tapi orang Yahudi itu justru balik berterima kasih, "Tidak wahai Tuanku.. Justru hambalah yang harus berterima kasih kepada Tuan karena berkat kebaikan Tuan lah hamba bisa hidup di negeri ini"


Pun dengan kisah Muhammad Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel dengan menguasai gereja terbesar Hagia Sophia yang setelahnya dijadikan sebuah masjid kebanggaan umat muslim Istanbul.


Ada kisah yang menarik di sana, ketika Muhammad Al-Fatih memasuki gereja itu, ada ribuan orang Kristen di sana hanya pasrah seolah-olah hidupnya akan berakhir. Tapi kemudian beliau mengatakan, "Kalian aman, kalian tidak akan pernah diganggu". Itulah Islam.


Inilah gambaran khilafah yang digdaya, namun tetap mengayomi, melindungi, memberikan kenyamanan, rahmat bagi seisi alam dan semua umat baik muslim maupun non-muslim. 


Masih ragukah kita menerapkannya?


* Penulis dari Tulungagung

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak