Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Skandal kasus korupsi kembali mengguncang Kemenag. Kali ini menyeret ketum PPP Rimahurmuziy (Rommy), terkait jual beli jabatan di Kemenag.
"Setelah melakukan pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24jam, sebagaimana diatur dalam KUHAP dilanjutkan dengan gelar perkara, maka disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait seleksi jabatan pada Kemenag tahun 2018-2019," ujar wakil ketua KPK Laode M. Syarif, (detik.com, 17/03/2019).
Sabtu (16/03/2019) Romahurmuziy resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dan menjadi ketum partai kelima yang dijerat KPK. Sebelumnya sudah ada Setya Novanto selaku ketum partai Golkar dalam kasus E-KTP, Anas Urbaningrum ketum partai Demokrat dalam kasus proyek Hambalang, Lutfi Hasan Ishaaq presiden Partai Keadilan Sosial (PKS) dalam kasus kuota impor daging sapi di Kementrian Pertanian, Surya Dharma Ali ketum PPP dalam kasus korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementrian Agama tahun anggaran 2012-2013, (tribunnews.com, 17/03/2019).
Dengan ditetapkannya Rommy sebagai tersangka semakin mencoreng nama baik Kementrian Agama. Pasalnya sebelumnya sudah terjadi beberapa kasus serupa. Seperti pengadaan Alquran oleh Zulkarnain Djabar dengan anaknya Dendy Prasetya. Tidak sampai disitu saja, korupsi di Kemenag juga terjadi dalam rapat siluman pada akhir tahun 2017. Dimana dalam laporan keuangannya menyebutkan rapat diadakan di hotel namun faktanya di Kantor.
Korupsi bukan hanya terjadi di induknya saja, tetapi juga merebak pada jenjang bawah. Ini merupakan bukti nyata mahalnya biaya pemilihan dalam demokrasi. Sehingga ketika terpilih sibuk mengembalikan modal. Kepentingan rakyat diabaikan.
Sekulerisme melahirkan individu yang cinta dunia. Hamba dunia yang rela menukar segalanya demi kenikmatan semu belaka. Iman tidak bisa lagi dijadikan sandaran. Karena sudah ternoda sekulerisme. Melahirkan pribadi yang taat saat beribadah saja, kemudian berubah seratus delapan puluh derajat kala di luar. Tidak ada peraturan Allah, tidak ada perasaan takut diawasi atau pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Apalagi hukum yang digunakan dalam demokrasi tidak pernah benar-benar tegas hingga memberi efek jera. Justru yang ada hukumnya bisa ditawar. Bahkan mereka yang telah didakwa masih bisa merasakan hasil dari kejahatan korupsi. Mereka bebas memilih fasilitas mewah meski berapa dalam lapas. Hasilnya meski di penjara kehidupan mereka bak di surga.
Korupsi tak akan pernah mati selama sistem rusak ini terus diterapkan. Yang ada akan bermunculan nama-nama baru. Penyelesaian kongkritnya hanya bisa terwujud ketika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh.
Bukan hanya membina setiap individu semakin taqwa yang selalu terikat hukum syara'. Tetapi juga penerapan hukum potong tangan berdasarkan nishob akan memberikan efek jera bagi pelaku serta masyarakat lainnya.
“Dan pencuri, laki-laki dan wanita, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan mereka dan hukuman dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38).
Wallahu 'allam bishowab.