Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) : Ulah Demokerasi Kapitalisme


Oleh : Fina Restiar (Aktivis BMI COMMUNITY BAUBAU) 


KKN alias Korupsi, Kolusi dan Nepatisme kian mengkhawatirkan. Pasalnya praktek haram ini telah menjadi budaya di negeri yang terkenal dengan semboyan negara 'Bhineka Tunggal Ika' itu. Korupsi, tak berdiri sendiri. Ada kolusi dan nepotisme yang turut membersamainya. 


Korupsi, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan dan sebagainya, untuk keuntungan pribadi atau orang lain, kini seperti menjadi candu bagi para budak-budak dunia. Dalam literatur keislaman, istilah korupsi identik dengan Risywah atau Rasywah yang berarti : Suap atau pemberian sesuatu kepada seseorang karena ada maksud tertentu. 


Adapun kolusi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kerjasama rahasia untuk maksud tertentu, atau persekongkolan. Sedangkan dalam istilah al-Qur'an kolusi termasuk Ta'awun 'ala al-Itsini wa al-Udwan yaitu suatu bentuk kerja sama dalam melakukan kejahatan.


Kermudian nepotisme, berarti: kecendrungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutaina dalarn jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.


Dalam tataran definisi diatas, istilah KKN (korupsi, kolusi dan Nepotisme) masih dapat dibedakan, korupsi lebih berkonotasi penyalahgunaan kepentingan umum (Mashalih Aminah), dalamnya negara, pemerintah, masyarakat atau organisasi/perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Sedangkan kolusi cenderung berkonotasi penyalahgunaan kedudukan, wewenang dan jabatan, untuk mewujudkan maksud dan kepentingan sekelompok orang yang berkepentingan sama. Adapun Nepotisme berkonotasi pada pengutamaan kerabat dekat dalarn pengangkatan suatu kedudukan dalarn pemerintahan atau perusahaan.


Berbicara tentang 'korupsi' dan kawan-kawannya (baca: Kolusi dan Nepotisme) memang tak pernah ada habisnya. Pasalnya, praktek haram ini kini telah membudaya di negeri ini, hingga hal ini lantas bukan lagi menjadi hal yang tabu untuk diperbicangkan. Bagaimana tidak, setiap harinya publik selalu disuguhkan dengan berbagai kasus serupa yang terus menerus terjadi dan seolah tak memiliki ujung. 


Pelakunyapun tak main-main. Kebanyakan adalah para kaum elite, yang menduduki jabatan tinggi. Sebut saja anggota DPR, pejabat Kementrian, hingga kepala negara tak luput dari pusaran kelompok yang melakukan praktik haram ini. 


Seperti yang belum lama ini terjadi. Lagi-lagi publik di buat geger dengan tertangkapnya salah satu politisi Indonesia sekaligus ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romy. 


Pada Sabtu (16/3/2019), KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap anggota DPR itu. Dalam kasus ini, Romy diduga sudah menerima uang dengan total Rp 300 juta dari dua pejabat Kementerian Agama di Jawa Timur. Mereka adalah Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muafaq Wirahadi(sumber-tribunnews.com,17/3/2019)


Romahurmuziy menjadi Ketua Umum Partai kelima yang dijerat KPK menyusul mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek penggadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP), Anas Urbaningrum Ketua Umum Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi proyek Hambalang, Luthfi Hasan Ishaaq Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan kasus suap atas pemberian kuota import daging, juga Suryadharma Ali sang Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (sumber-WARTAKOTA.life.com,17/3/2019)



Praktek haram ini memanglah bukan hanya terjadi di Indonesia. Melainkan juga di negeri-negeri lainnya, sebut saja Amerika Serikat, Jepang, China, Korea Selatan, Korea Utara, Malaysia, Arab Saudi dan negara-negara lainnya. Namun yang menjadi pembeda adalah hukuman yang diberikan. Sebut saja di China dan Korea Utara dengan eksekusi hukuman matinya, Korea Selatan dengan pengucilan seumur hidup dari masyarakat dan keluarha bagi para koruptor. Di Arab Saudi dengan hukuman matinya berupa qisas, yakni dengn cara memenggal kepala para koruptor. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? 


Di Indonesia sendiri, hukuman bagi para koruptor adalah cukup dengan masa tahanan maksimal 20 tahun, yang itupun juga masih diberi keringanan berupa remisi-remisi yang diberikan, walhasil, tidak sedikit kita dapati para koruptor yang di tuntut 20 tahun penjara bisa menghirup udara segar sebelum waktunya. Belum cukup sampai disitu, kondisi penjara yang sekelas hotel para kaum ellite politik juga menjadi fasilitas disana. Jika seperti itu, dimana efek jera bagi para koruptor? 


Parahnya lagi, praktek haram seperti KKN ini tak pernah bisa dimusnahkan. Meskipun, pada tahun 2002 silam, pemerintah telah membentuk sebuah badan yang bernamq Komisi Pemberantasan Korupsi yang diharapkan dapat memberangus praktek-praktek yang berbau korupsi dan kawan-kawannya dinegeri ini. Akan tetapi, hingga detik ini, KPK belum juga bisa menuntaskan masalah yang merugikan negera hingga mencapai triliunan rupiah. 


-  Akar Masalah -


Praktek korupsi, kolusi dan nepatisme (KKN) sesungguhnya terjadi bukan semata karena kesalahan dari pada si pelaku alias koruptornya saja. Sebab, jika kita telaah lebih jauh praktek kotor ini terjadi karena dukungan dari pada sistem yang diterapkan dinegeri ini. 


Adalah Demokerasi kapitalisme dalangnya. Dengan paham pemisahan agama dari kehidupan alias sekularismenya, berhasil meyakinkan setiap orang terlebih kaum muslimin, bahwa agama (Islam) hanya mengurusi masalah ibadah mahdoh saja, seperti shalat, zakat, puasa ataupun haji. Namun, cara berpolitik, cara memperoleh kebutuhan hidup dan lain sebagainya tidak di atur dalam Islam. 


Padahal, jika kita merujuk pada Kitab terakhir yang diturunkan oleh Al-Khaliq, sekaligus menjadi kitab penyempurna kitab-kitab terdahulu, akan kita dapati bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna. 


Sebaimana firman-Nya. :


"Pada hari ini ,Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan untuk kalian nikmat-Ku dan meridhoi Islam sebagai agama kalian" (TQS. Al-Maidah : 3).


Ditambah lagi dengan, perilaku hedonisme, yang beranggapan bahwa hidup adalah hanya sebatas mengejar kebahagiaan dunia sebesar-besarnya, sehingga cara menuju kebahagiaan semu itu ditempuh lewat jalan praktik seperti korupsi, suap dan lain sebagainya (KKN). 


Benar saja. Dalam sistem Demokerasi, pemerolehan kekayaan bisa dilakukan dengan menggunakan cara apapun. Tak perduli cara itu merugikan orang lain, apalagi memperhatikan halal dan haramnya. Sehingga, apapun caranya, apapun usahanya, selama itu menghasilkan pundi-pundi rupiah, hal yang jelas-jelas keharamannyapun berubah menjadi halal. 


Terlebih, di perparah dengan hukuman yang diberlakukan sistem bobrok buatan manusia yang lemah dan serta terbatas ini, yang mana sama sekali tidak memberikan efek jera bagi para pelakunya. 


- Syariah Islam Solusinya -


Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada menggairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.


Diberlakukannya juga seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. 


Negara khilafah Islamiyah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. 

Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.


Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.


Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud).


Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.


Sebagaimana firman-Nya :


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil/tidak sah dan tidak etis, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (TQS. An-Nisa : 29)


Wallahu A'lam Bissawwab..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak