Oleh : Dini Azra
Korupsi bukan hal yang lumrah dalam sistem demokrasi. Meskipun pernyataan perang terhadap korupsi terus bergelora. Sepertinya hanya sebatas slogan. Setiap partai selalu bicara, akan memberantas korupsi. Namun faktanya, malah turut berpartisipasi. Katanya korupsi harus digempur, nyatanya malah semakin subur bagaikan jamur.
Beberapa faktor penyebabnya, antara lain karena biaya sistem politik yang sangat tinggi. Yang mengharuskan seorang politisi mengeluarkan uang yang banyak, saat mencalonkan diri. Maka tak heran segala cara dilakukan agar modal kembali. Hal ini seakan sudah menjadi tradisi. Terulang lagi, dan tidak pernah berhenti.
Kasus korupsi juga tak memandang tinggi rendahnya posisi jabatan. Dari kepala desa sampai pejabat tinggi, sudah banyak yang tertangkap dan dibui. Dan yang sedang ramai diberitakan. Kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama. Baik di pusat ataupun didaerah. Terungkap kasus ini, setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), terhadap lima orang di Jawa Timur. Salah satunya adalah ketua partai PPP, Romahurmuziy(Romy).
Kelimanya ditangkap saat sedang bertransaksi, terkait suap jual beli jabatan di Kemenag. Dari sini KPK melanjutkan penyidikan di kantor Kementerian agama. Melakukan penyegelan di sejumlah ruangan di Kemenag. Dan mengamankan uang berjumlah ratusan juta rupiah dalam pecahan seratus ribuan. Yang menurut KPK uang tersebut diduga adalah bagian suap atau fee atas pengaturan jabatan tersebut.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan pihaknya telah lama menyelidiki dugaan transaksi terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) yang diduga melibatkan Romi. "Sudah lama. Sudah lama (intai Romahurmuziy)," kata Agus di Gedung KPK Jakarta, Jumat (15/3) kemarin. Republika.co.id, 16 Maret 2019.
"Yang perlu dicatat itu bukan pemberian yang pertama karena sebelumnya juga yang bersangkutan pernah memberikan," ujarnya.
Apa yang terjadi kepada Romy, tentu menjadi pukulan berat bagi partai Islam berlambang ka'bah itu. Apalagi Romy yang selama ini begitu dekat dengan Presiden Jokowi. Sedikit banyak akan berimbas bagi kubu tim sukses pasangan nomor urut 01. Beberapa tokoh dari TKN meminta agar kasus Romy ini, tidak dikaitkan dengan urusan pilpres. Karena itu adalah kesalahan pribadi Romy. Namun, potret kebersamaan antara Romy-Jokowi sudah terekam di benak masyarakat. Tergantung bagaimana rakyat menanggapi hal ini. Sebab rakyat lah yang memutuskan mana yang layak dipilih 17 April nanti.
Teringat apa yang sering dikatakan Romy. Orang baik akan memilih orang baik pula. Ternyata menjadi baik saja tidak cukup membentengi diri. Untuk tidak terlibat korupsi. Sebab godaan dan kesempatan akan selalu datang. Disaat uang dan peluang ada digenggaman. Iman dan akhlak dikesampingkan. Sebab, mereka yang sudah duduk di kursi jabatan. Akan terus berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan. Cara apapun akan dilakukan, tanpa perduli halal dan haram. Demokrasi memang identik dengan politik Machiavelli. Politik yang mengesampingkan etika (moralitas). Yang terpenting bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan cara apapun.
Sedangkan hukum bagi pelaku korupsi di negeri ini masih tergolong ringan. Hukuman penjara beberapa tahun saja. Denda yang tak senilai dengan harta korupsi yang diraupnya. Sementara didalam lapas. Para koruptor kelas atas bisa memilih dan membeli aneka fasilitas. Masyarakat pun dibuat geram. Bahkan pernah terjadi terpidana korupsi bisa keluar lapas, menyewa mobil dan membawa kunci ruangannya. Ada juga yang sampai liburan ke luar negeri, padahal statusnya masih sebagai tahanan.
Jadi apakah mungkin memberantas korupsi, hingga keakar-akarnya didalam sistem demokrasi? Walaupun kerja keras KPK sangatlah patut di apresiasi. KPK terbukti independen, tidak ada pihak yang dapat mengintervensi. Namun pekerjaan ini tidak akan pernah selesai. Satu orang tertangkap biasanya akan menyeret nama-nama yang lain. Korupsi itu tidak bisa mandiri, pasti ada persekongkolan didalamnya. Seperti halnya pada kasus Romy hari ini.
Akar masalah dari tindakan korupsi adalah sistem yang memang rusak dari asalnya. Karena memisahkan agama dari urusan politik. Demokrasi ibarat lumpur yang menghisap. Siapapun masuk ke dalamnya akan terjerembab. Setidaknya akan ikut kotor terkena cipratan lumpur. Bahkan hal itu turut dibenarkan oleh tokoh politik negeri ini. Mahfud MD pernah mengatakan, "Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga," ucap Mahfud.(Republika.co.id.17/10/2013).
Bahkan Romy sendiri bilang, antara pejabat dan penjahat itu hanya berbeda tipis. Sekarang pejabat besoknya bisa berubah jadi penjahat. Melakukan tindakan melanggar hukum seperti korupsi.
Tentu berbeda dengan politik Islam. Karena politik dalam pandangan Islam adalah mengurus urusan negara dengan menggunakan aturan agama. Tidak perlu repot membuat peraturan dan perundang-undangan. Sebab seorang pemimpin, hanya boleh mengambil hukum yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Hukum yang sudah ditetapkan oleh sang Pencipta kehidupan. Hanya Allah Subhanahu wa ta'ala yang berhak menetapkan hukum.
Allah berfirman : " Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)
Dan bagi orang yang mencuri sebagaimana korupsi. Allah sudah menetapkan hukuman yang setimpal. Yang dijamin akan menjerakan. Bila hukum ini diterapkan sesuai syariat, maka sedikit sekali orang yang berani mencuri ataupun korupsi. Yaitu hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah memenuhi syarat, terkait nilai benda yang dicuri, tempat dan kondisi.
Dalam QS Al-Maidah ayat 38, Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tentu saja hukuman ini tidak mungkin diterapkan didalam demokrasi. Akan banyak penentangan dari para pegiat HAM. Karena dianggap kejam tak berperikemanusiaan. Padahal Allah lebih tahu, yang terbaik bagi hambaNya. Apa yang diturunkanNya, tidak mungkin ada kesalahan. Dan hanya sistem Khilafah/ kepemimpinan atas umat Islam yang bisa menerapkan Syariat Nya. Bukan sistem yang lain. Jadi selama sistem demokrasi masih dipakai, maka tindakan korupsi itu tidak mungkin bisa selesai. Wallahu a'lam bishawab.