KISRUH MASALAH PERTAMBANGAN, WAWONII MENJADI INCARAN INVESTOR ASING

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih 

(Korda Muslimah KARIM Kendari)



Wawonii merupakan salah satu daerah yang mempunyai sumber daya alam, baik itu berupa dari hasil lautnya, hutannya maupun kandungan alamnya. Di Wawonii juga terdapat beberapa tempat wisata yang mampu menunjang kehidupan masyarakat Wawonii. Salah satu contoh daerah rekreasi di Pulau Wawonii adalah Pantai Kampa.


Pulau Wawonii secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Wawonii. Luas kecamatan yang berupa pulau ini adalah sebesar + 404,8 km2 yang terbagi ke dalam 10 desa. Pulau Wawonii sendiri dihuni oleh beberapa etnis, di antaranya Wawonii yang merupakan suku asli, Suku Bugis, Suku Buton, bahkan Suku Jawa juga menjadi penghuni pulau tersebut. Pada tahun 1990, penduduk di Kecamatan Wawonii berjumlah sekitar + 35.000 jiwa, namun tidak jelas mengenai jumlah masyarakat Suku Wawonii di antara jumlah tersebut.(Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 921.)


 Di Pulau Wawonii, sejak dulu hingga kini, sekitar 75% penduduk pulau berbentuk hati ini adalah petani (terdiri dari petani kelapa, jambu mete, kakao, cengkeh, pala,padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan sayuran), 20% nelayan dan 5% PNS (BPS Konawe Kepulauan 2014), pedagang dll. (Kompasiana.com)


Namun kehidupan masyarakat wowonii saat ini tengah menuai keresahan pasca masuknya para investor pertambangan hingga beberapa kali terlibat bentrok dengan aparat yang menjaga perusahaan tersebut.Bagaimana tidak,masyarakat yang bergantung hidup dengan bertani,nelayan kini harus terusik dengan masuknya beberapa pertambangan di daerah tersebut.


Keresahan masyarakat wawonii pun beralasan sebab masuknya pertambangan didaerah tersebut jelas akan mengakibatkan banjir,tanah longsor,abrasi,rusaknya ekosistem laut,pencemaran udara dan air yang justru dikhawatirkan akan merusak kesehatan masyarakat.


Selain itu masuknya pertambangan bisa saja memicu adanya eksploitasi masyarakat lokal dengan tenaga kerja asing,dan hilangnya lahan pertanian/perkebunan yang menjadi sember pencaharian masyarakat wawonii.


Dari kerasahan masyarakat wawonii yang menuntut agar izin UIP tersebut dicabut oleh pemerintah setempat puncaknya ratusan masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Sultra Bela Wawonii (FRSBW) melakukan aksi unjuk rasa didepan kantor gubernur sultra.


Dilansir dari Kumparan.com sekitar 500 warga Kecamatan Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Rabu (6/3). Mereka menuntut Gubernur Sultra, Ali Mazi, mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Konawe Kepulauan.


Diketahui terdapat 15 IUP aktif di pulau seluas 867,08 kilometer persegi tersebut. Warga meminta Ali Mazi menemui mereka, namun permintaan itu tidak dipenuhi setelah beberapa jam mereka melakukan aksi.



Bentrokan antara warga dan aparatpun tak bisa dihindari. Tembakan gas air mata dan water cannon digunakan polisi untuk membubarkan warga. Sementara warga melawan dengan melempar batu ke arah polisi dan Satpol PP.


Beberapa warga mengalami luka-luka di bagian kepala dan wajah, sedangkan satu anggota polisi dilaporkan mengalami luka di bagian wajah akibat lemparan batu. Beberapa kaca di kantor gubernur pecah akibat bentrokan itu.


Miris,saat masyarakat ingin menyalurkan hak suaranya,berpedapat di muka umum justru malah harus mengalami tindakan represif dari aparat yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat.


Jika kita berkaca dari 4 pilar kebebasan dalam demokrasi dimana salah satu kebebasan yang dijamin oleh negara ialah kebebasan berpendapat dimana hal ini juga telah tercantum dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia.


Jika mengemukakan pendapat merupakan bagian dari HAM,lantas dimana sikap pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis..??


Justru tindakan represif yang di alami oleh masyarakat wawonii yang memperjuangkan hak-hak mereka sesunggunya telah mencoreng wajah hukum dinegri ini.Terlebih lagi SDA (Sumber Daya Alam) yang seharusnya di kuasai oleh negara justru menjadi salah olah ditangan investor asing swasta maupun asing.


Awal munculnya liberalisasi pertambangan


Melalui akun twitter @fadlizon yang ia tuliskan pada Selasa (1/5/2018).


Sebelumnya, Perpres nomor 20 tahun 2018 ini ditandatangani Jokowi pada 26 Maret 2018 dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 29 Maret 2018.


Perpres ini berlaku setelah tiga bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.

Perpres ini menggantikan Perpres Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dibuat pada era presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.


Perpres ini diharapkan bisa mempermudah tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia yang berujung pada peningkatan investasi dan perbaikan ekonomi nasional.


Tak hanya itu, Presiden Jokowi meminta agar izin bagi TKA yang hendak masuk ke Indonesia dipermudah.


"Dalam penataan tenaga kerja asing di Indonesia, pertama, saya minta agar proses perizinannya tidak berbelit-belit, ini penting sekali," kata Jokowi.


Maka tidak heran jika sampai saat ini TKA berbondong-bondong memasuki wilayah Indonesia,dan saat ini kepulauan wawonii menjadi target para kapitalis untuk menguasai daerah tempat tinggal mereka.


*Islam mengatur pertambangan*


Dalam sistem ekonomi islam,pertambangan seharusnya dikelola sepenuhnya oleh negara dan dan hasilnya dikembalikan untuk mensejahterakan ummat.


Namun,perundang-undangan dalam sistem demokrasi justru lebih menguntungkan para kapitalis/pemilik modal.Pertambangan dialihkan ke swasta sehingga menjadi salah olah yang kemudian justru merugikan masyarakat lokal baik dari segi sandang,pangan,papan dan materil.


Dalam aturan Islam,sumber kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Kemudian hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Namun sebaliknya, akan menjadi haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum tersebut kepada individu, swasta apalagi asing.


 Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut



Oleh karena itu, untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumber daya alam  yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya.


Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat.


-Wallahu A'lam bishshowab-

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak