Oleh : Dini Azra
Hari ini tepatnya tanggal 23 Maret, mengingatkan kembali akan sejarah kelam bagi umat Islam . Dimana 95 tahun yang lalu ada seorang muslim keturunan Yahudi, yang telah terdidik dengan pemikiran sekuler barat, Musthafa Kemal akhirnya berhasil meruntuhkan Kekhilafahan Turki Utsmani melalui konspirasi. Perisai umat Islam itu telah dilenyapkan dari muka bumi, dan diganti dengan Republik Turki yang menganut paham kapitalis barat. Karena dia menganggap sistem Islam sudah tidak layak untuk dipakai saat itu, supaya umat berkemajuan haruslah dengan membebek pada peradaban barat yang modern. Semua yang dianggap sebagai simbol agama dihilangkan, digantikan dengan budaya kebarat-baratan.
Adzan tidak boleh lagi dikumandangkan dengan bahasa Arab, melarang pemakaian jilbab dan memelihara jenggot, dan para muslimah harus memakai pakaian layaknya wanita-wanita Eropa. Banyak masjid dan sekolah Islam ditutup, para Ulama yang berani menentang kebijakannya akan dibunuh. Begitulah kepiluan yang harus dirasakan oleh umat Islam, walaupun kita sadar semua terjadi juga atas ijin Allah Subhanahu wa ta'ala.
Sejak itu, umat Islam ibarat anak ayam kehilangan induknya. Tanpa perisai, merekapun akhirnya tercerai berai. Umat yang tadinya dipersatukan ibarat satu tubuh dengan ikatan akidahnya, dan dipimpin oleh seorang Khalifah yang menjamin keamanan, kesejahteraan dan perlindungan, harus terpecah belah. Terpotong-potong menjadi negeri-negeri kecil yang saling menciptakan batas-batas teritorial. Ikatan keimanan, berganti dengan ikatan kesukuan, kebangsaan atau nasionalisme yang lemah. Yang dipimpin oleh para diktator yang pongah, yang lebih memilih membuat hukum sendiri daripada menerapkan syariah.
Hari ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya kami kenang, bukan sekedar untuk mengulang rasa kepedihan. Bukan pula untuk membangkitkan amarah dan kebencian, sampai-sampai menyalahkan takdir yang sudah ditetapkan. Hanya saja, kami tidak ingin menjadi umat yang pelupa akan sejarah Islam di masa silam. Agar kamipun dapat bermuhasabah, dan mulai berbenah untuk membalikkan sejarah kembali, hingga Islam kembali meraih kemenangan. Kamipun banyak belajar dari kisah-kisah hikmah, yang menumbuhkan pucuk-pucuk rindu akan tegaknya Khilafah.
Sebut saja Khalifah Mu'tashim billah, pada masanya menyelamatkan seorang wanita muslimah yang ditawan oleh pasukan Romawi. Dia mendengarkan jeritan sang muslimah, " Oh Islam, oh Muhammad, oh Mu'tashim!" Beliau menulis surat kepada kaisar Romawi, yang meminta agar wanita itu dibebaskan. Jika tidak, demi Zat yang mengirim Muhammad dengan kebenaran, akan dipersiapkan pasukan yang ujungnya ada di negeri Romawi dan ujungnya lagi ada di negeri Islam . Surat itupun membuat kaisar itu menggigil ketakutan dan membebaskan wanita yang ditawan. Bagaimana dengan hari ini, adakah pemimpin yang memenuhi jeritan para wanita yang ditahan, disiksa, dan direnggut kehormatannya? Berapa banyak wanita muslim yang menjerit, dan menangis, tanpa ada pemimpin yang membelanya?
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Azis mendapatkan amanah jabatan sebagai Khalifah, dia berkata pada istrinya Fatimah. Fatimah adalah wanita terhormat dari keluarga yang terpandang, saat pernikahan dia mendapat banyak hadiah perhiasan. Maka Khalifah meminta istrinya memilih antara dirinya dan perhiasan yang dia miliki. Istrinya yang shaleha tentu saja memilih suaminya sang amirul mu'minin, lalu merelakan semua perhiasannya untuk diserahkan ke baitul mal. Dan semenjak itu, beliau dan keluarga memilih hidup penuh zuhud dan sangat bersahaja, hingga ketika beliau wafatpun hanya mewariskan 18 dinar untuk 11 putra dan putrinya. Itupun masih dibagi, 4 dinar untuk membeli kafan, 5 dinar untuk membeli kain kafan, sisanya baru dibagikan.
Ketika beliau ditanya seseorang tentang anaknya, beliau menjawab, " Anak-anakku itu salah satu dari dua, bila mereka menjadi orang yang takwa maka Allah akan menjamin nya dan selalu memberikan jalan keluar. Tapi bila mereka menjadi pembangkang, aku tidak mau meninggalkan sesuatu yang bisa digunakan untuk melakukan pembangkangan terhadap Allah ta'ala." Begitulah, sosok pemimpin sejati. Bukan hanya mengayomi rakyatnya, tapi sekaligus menjadi contoh keberhasilan dalam mendidik istri dan anak-anaknya menjadi hamba yang bertakwa.
Tentunya banyak lagi kisah luar biasa yang akan menggugah keimanan. Kamilah para perindu Khilafah, dimana syariat Islam dapat ditegakkan secara kaffah. Kamipun belajar tentang hukum syara, dan berupaya menerapkannya dalam keseharian. Tak lupa, untuk selalu mendakwahkan kepada umat, untuk kembali taat pada aturan Islam. Walaupun kami tahu, tujuan kami dianggap mimpi. Dakwahpun banyak yang memusuhi, karena dianggap menentang sistem yang ada saat ini. Khilafah yang kami serukan, memanglah jadi ancaman bagi hegemoni barat, dan pemimpin yang gila pangkat namun abai dengan urusan umat.
Haruskah kami berhenti dan menyerah, dan memilih jalan yang mudah? Yaitu hanya fokus menjalankan ibadah, dan berdoa tanpa menasihati penguasa. Justru itulah yang diharapkan oleh musuh-musuh Islam, memisahkan umat dari urusan kepemimpinan. Mereka akan membiarkan kita beribadah, tapi akan mengawasi ketika kita mulai membahas ekonomi, dan muamalah secara luas. Apalagi kita membicarakan politik, mereka tidak akan tinggal diam dan menciptakan para penentang, musuh dari dalam para munafikun yang bisa dibeli dengan keduniawian.
Rindu kami pada Khilafah, akan selalu merekah dan berbuah menjadi akhir yang indah. Karena kami selalu berpegang pada janjinya yang akan mempergilirkan kekuasaan. Hari ini kita dalam posisi kalah dan lemah. Tapi selama 13 abad kita pernah berjaya, sedang kekuasaan mereka belum seabad lamanya. Dan dibabak berikutnya, Allah akan kembalikan kekuasaan kepangkuan Islam. Namun kitapun harus mengambil bagian dalam perjuangan.Jangan cuma berpangku tangan, berusaha meningkatkan ketakwaan dan amalan, tapi tetap bersuara menyampaikan kebenaran. Beramar ma'ruf nahi munkar, sebagaimana yang Allah perintahkan. Allah berfirman :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”. [Al-Imron:104]. Agama adalah sebagai nasihat, kewajiban kita untuk saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebenaran Islam, Wallahu a'lam bishawab.