Oleh : Ika Nur Wahyuni
Kunjungan Putra Mahkota Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud dalam tur ke Asia salah satunya ke Cina menarik perhatian banyak orang. Kelompok-kelompok Muslim Uighur meminta Pangeran Muda Saudi untuk membantu perjuangan mereka dan melepaskan penindasan Cina. Karena kerajaan ultrakonservatif secara tradisional menjadi pembela hak-hak muslim di seluruh dunia.
Alih-alih memperjuangkan hak Kaum Muslim Uighur, Putra Mahkota itu malah memberikan dukungan dan membenarkan sikap pemerintah Cina yang membangun kamp konsentrasi untuk Muslim Uighur. Kunjungannya tidak dikhususkan untuk membahas Uighur tetapi melakukan kerjasama bilateral dengan Cina.
Miliaran dolar uang milik Cina mengalir ke Arab Saudi. Energi, perumahan, transportasi, dan logam adalah sektor andalan investasi Cina di Arab Saudi. Dan minyak adalah salah satu komoditas utama dalam perdagangan kedua negara tersebut.
“Cina memiliki hak untuk melakukan pekerjaan antiterorisme dan ekstrimisme untuk keamanan nasionalnya,”kata Salman bin Abdulaziz Al Saud. (Kiblat net, 24/2/2019)
Pernyataannya ini begitu menyakitkan bagi umat Islam terutama Kaum Muslim Uighur. Mereka berharap ada perhatian dari Pangeran Muda Arab Saudi untuk sekedar meringankan penderitaan mereka atas perlakuan keji pemerintah Cina.
Arab Saudi, negara di mana manusia mulia peletak dasar kepemimpinan Islam Rasulullah SAW dilahirkan telah lama melupakan penderitaan kaum muslim yang tertindas di berbagai wilayah dunia. Politik kepentingan membuat mereka menutup mata dan hati melihat penderitaan kaum muslim.
Cengkeraman negara-negara kapitalis di negeri-negeri Islam sangat kuat. Nasionalisme yang terus digaungkan menjadi doktrin yang merasuk ke benak-benak kaum muslim. Seolah-olah bila memberikan bantuan kepada kaum muslim yang ditindas negara penjajah adalah sebuah kesalahan dan dosa besar.
Persaudaraan muslim lintas dunia sudah lama termutilasi nation state. Penderitaan muslim negara lain tidak lagi menjadi derita bagi muslim di negara lainnya. Pada akhirnya hanya kecaman dan kutukan yang dapat dilakukan oleh para pemimpin negeri Islam bukan aksi nyata yang menyelamatkan dan menentramkan jiwa.
Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW beribu tahun yang lalu. “Dan barangsiapa mati di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin menolong kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Nasionalisme adalah salah satu racun mematikan yang mampu memecah belah persaudaraan kaum muslim. Semenjak keruntuhan institusi Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924, kaum muslim bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Bagaikan buih di lautan yang terombang-ambing dihempaskan ombak tanpa daya dan kekuatan.
Hanya dengan menegakkan kembali institusi Khilafah maka kekuatan kaum muslim yang berserak dapat kembali dihimpun dalam satu kepemimpinan yang kuat. Islam kembali memimpin, dan menjadi mercu suar peradaban dunia.
Kemandirian dan kemerdekaan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi sebuah keniscayaan yang menghantarkan kaum muslim menjadi umat yang mulia dan maju. Pembebasan kaum muslim dari penderitaan tak berkesudahan seperti yang dialami Palestina, Suriah, Rohingya, Yaman, Uighur, dan seluruh kaum muslim yang tertindas lainnya dilakukan dengan aksi nyata yaitu jihad fii sabilillah.
Racun nasionalisme akan terdetoksifikasi, hilang bersama meleburnya seluruh kaum muslim menjadi satu kekuatan besar di bawah bendera dan panji Rasulullah SAW, liwa dan rayah dan naungan Daulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan Alquran dan As Sunah sebagai dasar negara. Dan kembali Islam akan memimpin dunia dan membawa rahmat bagi alam semesta.
Wallahu ‘alam bis shawab