Oktavia Nurul Hikmah, S.E. (Komunitas Sinergi Muslimah)
Memenangkan suara masyarakat adalah syarat utama pemburu kekuasaan di dalam sistem politik demokrasi. Maka tak heran, di musim kampanye tahun politik ini calon penguasa dan wakil rakyat berlomba ‘ngalap berkah’ dari para tokoh pemegang kepercayaan umat. Kalangan ulama, adalah salah satu target utamanya.
Sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia memiliki banyak tokoh dari kalangan Islam yang menjadi simpul kepercayaan umat. Kepada para tokoh inilah masyarakat berujar ‘sendika dawuh’. Ringkasnya, saat para tokoh mengarahkan pilihan pada sesuatu, masyarakat akan mendengar dan lalu taat. Karena itulah para capres dan cawapres berlomba melakukan kunjungan langsung kepada para ulama dan pesantren-pesantren. Tujuannya satu, mengumpulkan suara umat Islam.
Betapa menyedihkan. Ulama pewaris risalah nabi dijadikan sebagai pion dalam permainan perebutan kekuasaan. Lebih miris lagi, kekuasaan tesebut tidak dimaksudkan untuk menerapkan Islam. Bukankah dalam demokrasi, pemikiran manusia yang menjadi pemutus segala? Pendapat ulama, hanya dibutuhkan untuk mengarahkan pilihan. Saat kekuasaan terpegang, pendapat ulama tak lagi diindahkan.
Ulama dan politik adalah dua sisi mata uang. Telah berlalu beragam sejarah yang mengisahkan kontribusi ulama dalam mengawal kekuasaan. Empat imam madzhab, masing-masingnya pernah merasakan hukuman dari penguasa karena mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan pemerintah. Bahkan Imam Hanafi ditangkap, dipenjara, dipecut, disiksa dan dipaksa minum racun hingga meninggal karena tidak setuju dengan peraturan pemerintah yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Para ulama tidak menjauhkan diri dari politik. Para ulama ada di dekat penguasa untuk mengingatkan mereka agar tidak menyimpang dari jalan syariat.
Sistem kehidupan sekuler kapitalistik telah menjauhkan ulama dari karakteristik khasnya. Sebagian ulama berpandangan bahwa dunia politik adalah kotor sehingga mengharamkan dirinya untuk terlibat. Sebagian lainnya berpendapat bahwa ulama harus terjun ke dalam dunia politik. Namun sayangnya, sistem politik demokrasi yang diterapkan saat ini sama sekali bukan dunia yang pas bagi ulama, bahkan bagi kaum muslim umumnya.
Sistem politik yang bersumber dari pemikiran manusia menjadikan akal sebagai pemutus utama. Contoh sederhana, riba yang diharamkan dalam Islam justru menjadi penopang utama perekonomian negeri berpenduduk mayoritas muslim ini. Hal ini dikarenakan mayoritas manusia masih melihat manfaat dari riba. Pertimbangan halal dan haram pun diabaikan.
Berbeda dengan politik Islam. Visi utama politik Islam adalah mengurusi kepentingan umat. Ketiga unsur masyarakat terlibat dalam politik Islam. Negara sebagai pengatur menjalankan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Masyarakat terlibat dalam fungsi kontrol, saling beramar maruf nahi munkar kepada sesama manusia, maupun kepada penguasa. Sementara individu menjadi obyek yang diurusi namun juga memberikan kontribusinya demi kemajuan Islam dan daulah Islam.
Sistem politik Islam hanya dapat terwujud ketika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Dunia mengenal sistem Khilafah, Imamah, atau Imarah. Semuanya memiliki kesamaan yaitu negara yang menerapkan syariat secara menyeluruh. Khilafah telah diruntuhkan pada 1924. Hingga kini, tidak ada satu negara pun yang telah menerapkan syariat secara kaafah.
Kontribusi secara politik di tengah ketiadaan Khilafah diwujudkan dengan jalan dakwah. Menyerukan kepada umat pentingnya mewujudkan kebangkitan Islam kembali dengan menegakkan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Itulah kekhilafahan yang telah digambarkan dalam sabda Nabi.
“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase penguasa yang zalim, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Setelah itu, akan datang kembali Khilafah ala Minhajin Nubuwah (berdasarkan metode kenabian)”. Kemudian Baginda saw. diam. (HR Ahmad).