Oleh : Ummu Hanif (Gresik)
Pesta demokrasi pemilihan presiden, tinggal menghitung hari. Kegaduhan semakin ramai di berbagai forum, baik dunia maya maupun dunia nyata. Masing – masing pasangan calon berupaya merebut simpati masyarakat. Tidak jarang masing - masing terjatuh pada ungkapan – ungkapan yang menimbulkan kontroversi dan menjadi perdebatan sampai kalangan bawah.
Sebut saja kasus yang baru terjadi. Joko Widodo (Jokowi) disebut telah melakukan upaya adu domba dengan menyebut organisasi berbahaya mendukung Prabowo Subianto. Demikian dikatakan pengamat politik Muslim Arbi dalam pernyataannya kepada suaranasional, Sabtu (23/3/2019). ( www.suaranasional.com, 2019/03/23)
Sebagaimana diketahui, Calon presiden (capres) nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi), pada saat menghadiri Deklarasi Pengusaha Untuk Jokowi-Amin di Istora Senayan, Jakarta (kamis, 21/3/2019), mengajak pendukungnya untuk lebih militan dalam menggaet dukungan dari masyarakat yang belum menentukan pilihan untuk pilpres nanti. Jokowi meminta relawan untuk ramai-ramai mengajak tetangga dan saudaranya untuk menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019. Selain itu, jokowi juga mengingatkan bahwa kubu lawannya di dukung oleh organisasi “yang itu”. (www.republika.co.id, 21/3/2019).
Hal semacam ini tentu tidak sehat bagi masyarakat. Karena konflik horizontal bisa terjadi. Saling curiga, tidak percaya, bahkan bisa mengarah kepada kekerasan fisik, jika sampai masyarakat berbeda pandangan dan merasa sama – sama benar. Apalagi yang berbicara adalah seorang presiden (karena beliau tidak ambil cuti, maka masyarakat bisa berpresepsi ganda akan posisi beliau. Sebagai presiden dan capres mendatang).
Selain kasus – kasus sejenis, di lapangan juga kita temukan pembagian barang / hadiah kepada masyarakat. Sebut saja yang paling remeh adalah kaos. Meski demikian, jika jumlah produksinya besar – besaran, tetap akan mengeluarkan dana yang cukup besar. Tentu kondisi ini tidak sehat dalam kaca mata politik islam.
Islam membangun kekuasaan politik di atas kesadaran umat atas kesahihan ideologi Islam dan kemampuannya dalam menyelesaikan problem kehidupan. Sehingga kekuasaan diraih justru untuk menegakkan ketaatan bukan menang - menangan. Tentu upaya saling sikut, apalagi sampai menghantarkan kepada perpecahan, pasti dihindari. Selain itu, kekuasaan dilandasi pemahaman bahwa itu adalah amanah, pertanggung jawabannya berat di sisi Allah. Maka, tidaklah seorang muslim yang memahami hakekat kekuasaan, akan menghalalkan segala macam cara untuk meraihnya.
Rosul pernah mengingatkan, ketika sahabat Nabi Saw, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan).” (Hr. Imam Muslim).
Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu.” Maka Rasulullah saw menjawab : “Demi Allah, Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu.” (Hr. Imam Bukhari & Imam Muslim).
Maka, jika kita mengacu kepada pandangan politik islam, maka kekuasaan akan menghantarkan kepada persatuan, bukan malah menjadi alat adu domba dan percahan. Dan dengan kekuasaan itulah maka kesejahteraan dan keberkahan bisa diwujudkan.
Wallahu a’lam bi ash showab.