Karhutla Yang Tak Kunjung Padam


Oleh: Yanyan Supiyanti A.Md

(Pengajar di Sekolah Tahfidz dan Member Akademi Menulis Kreatif)


Hutan sebagai paru-paru dunia, kini sudah bolong-bolong. Miris, luas hutan kian hari kian berkurang. Sudah menjadi rahasia umum jika hutan Indonesia makin gundul akibat kebakaran hutan (sengaja ataupun tidak) hingga penebangan liar. Padahal hutan punya peran yang penting bagi kehidupan manusia, yang salah satunya dapat mencegah terjadinya banjir.


Kebakaran hutan dan lahan (KarHutLa) seluas ratusan hektar telah melanda beberapa kabupaten di Riau sehingga berdampak pada kesehatan warga.


Saat ini kebakaran masih berlangsung di sejumlah lokasi, terutama di sekitar Kota Dumai dan Pulau Rupat di Kabupaten Bengkalis.


Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 843 hektar lahan terbakar di Provinsi Riau dari 1 Januari hingga 18 Februari.


Sebaran dari kebakaran mencakup Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 117 hektar, Dumai 43,5 hektar, Bengkalis 627 hektar, Kampar 14 hektar, dan Kota Pekanbaru 16 hektar.


Untuk menanggulanginya, Pemprop Riau menetapkan status Siaga Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan (KarHutLa) mulai 19 Februari hingga 31 Oktober 2019.


Selain pengerahan personel, ada pula bantuan helikopter dari KLHK untuk melakukan pengeboman air di lokasi kebakaran.


Kerusakan hutan dan lahan ini membuat warga merasakan dampaknya (bbc.com, 21/02/2019).


Berulangnya KarHutLa untuk kesekian kalinya menunjukkan rezim neolib dan berbagai lingkaran yang dijalankan telah gagal dan sia-sia belaka. Sementara tidak sedikit tenaga, perhatian, dan anggaran yang dihabiskan. Semua ini berawal dari pengelolaan lahan dan hutan gambut yang dilandaskan pada pandangan sekuler (hak konsesi) dan diadopsinya agenda hegemoni Climate Channge (EIST), yang salah satunya minyak sawit sebagai dasar biofuel.


Kedua tindakan berbahaya yang dilakukan rezim neolib, yakni pemberian hak konsesi dan diadopsinyan agenda hegemoni Climate Channge berkelindan satu sama lain menjadi biang penyebab petaka KarHutLa. Dua tindakan ini juga sekaligus mencermin bahwa rezim hari ini adalah pelayan korporasi dan kepentingan kafir penjajah.


Buah pahit ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.


Adapun program restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut, serta berbagai program lainnya yang selama ini dijalankan pemerintah, terbukti tidak sedikitpun menyentuh kedua biang persoalan ini.


Karenanya solusi satu-satunya agar KarHutLa segera berakhir adalah bersegera meninggalkan sistem kehidupan sekuler dan bersegera pula kembali pada pangkuan Khilafah. Yang dalam naungan Khilafah pengelolaan hutan dan lahan gambut didasarkan pada paradigma yang sahih demikian juga akan mendudukan program energi baru terbarukan (EBT) secara bijaksana.


Dalam pandangan Islam, hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi, penting bagi kehidupan orang banyak adalah harta milik umum. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

"Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api" (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Negara berfungsi sebagai raa'in (pemelihara urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut, sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Negara tidak dibenarkan memberikan hak istimewa pemanfaatan hutan dan lahan gambut pada individu atau entitas tertentu, siapapun dia.


Penerapan pandangan Islam ini menjadi kunci solusi persoalan menahun KarHutLa. Hal ini mengharuskan kehadiran rezim sebagai pelaksana syariah secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Tidak saja kebutuhan yang mendesak, Khilafah adalah syariat Islam yang diwajibkan Allah Ta'ala.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak