Oleh : Wida Ummu Aulia (Pemerhati Masalah Sosial)Karhutla Tiada Henti Bukti Kapitalisme Gagal Lagi
Masih segar dalam ingatan, pernyataan presiden Joko Widodo sekaligus kandidat capres Pilpres 2019 nomor urut 01 tentang kebakaran hutan yang disinyalir tak lagi terjadi selama 3 tahun terakhir. Hal itu beliau sampaikan pada acara Debat Capres kedua pada ahad malam 17/2/2019.
Namun statement tersebut dibantah oleh Greenpeace Indonesia melalui kicauan di akun Twitter @GreenpeaceID. Greenpeace mengungkapkan bahwa faktanya kebakaran hutan besar terjadi pada 2015 dan masih terus terjadi hingga saat ini. Bahkan sampai hari ini pun masih terjadi kebakaran hutan dan berakibat fatal bagi warga sekitar.
Bantahan dari Greenpeace tersebut, diperkuat dengan fakta di lapangan. Seperti dikutip dari Serambinews.com, 25/2/19, kondisi kabut asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, semakin parah. Sebanyak 13 sekolah terpaksa diliburkan. Sebab, kondisi kabut asap lahan gambut membahayakan kesehatan anak-anak.
Sebagaimana diketahui, kebakaran lahan gambut berlangsung lebih kurang satu bulan di Kecamatan Rupat, Bengkalis. Luas lahan yang terbakar mencapai ribuan hektar. Akibatnya, wilayah yang berbatasan dengan Malaysia ini, dilanda kabut asap.
Pernyataan Jokowi berbanding terbalik dengan fakta lapangan, menunjukkan bahwa rezim telah lalai dalam masalah ini. Fakta yang terindra tidak semanis janji yang hanya omong kosong tanpa bukti. Nyatanya karhutla terus terjadi. Kabut asap masih membumbung tinggi. Akibat si jago merah yang beraksi lagi dan lagi tiada henti. Masyarakat dan hewan bahkan tak dapat menghindari polusi. Hal ini adalah bukti bahwa rezim ingkar janji. Bukti bahwa Kapitalisme yang diterapkan negeri ini telah gagal lagi. Rezim neolib dengan berbagai program yang dijalankan telah sia-sia dan gagal lagi. Maka sudah saatnya berbagai kerusakan yang lagi-lagi terjadi harus diakhiri.
Kerusakan akibat pengelolaan lahan gambut yang terus dikelola berlandaskan sekulerisme. Hak konsesi dan diadopsinya agenda hegemoni climatte change yang salah satunya minyak sawit sebagai dasar biofuel. Keduanya adalah aspek yang niscaya ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang hanya berorientasi pada keuntungan materi. Alhasil, hutan dan lahan dikelola oleh asing/swasta. Dimana keuntungannya bukan lagi milik rakyat negeri ini, melainkan untuk kepentingan asing dan swasta di luar negeri. Jadi tidak heran jika hutan dan lahan tidak pernah dikelola sendiri oleh negara sebagaimana seharusnya. Karena negara tidak berperan sebagai pelayan rakyat namun sebagai pelayan korporasi.
Hal tersebut akan berbeda jika dikelola dengan sistem Islam. Hutan tidak akan dikelola oleh segelintir orang maupun kelompok yang haus materi. Karena dalam pandangan Islam, hutan dan lahan gambut memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan orang banyak sehingga dikategorikan sebagai harta milik umum. Rasulullah Saw bersabda yang artinya : “Manusia itu berserikat dalam tiga hal : yaitu air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Tidak pula problematika karhutla dituntaskan hanya dengan janji manis tanpa bukti. Namun dengan praktik kerja nyata yang akan dijalankan berdasarkan iman demi meraih ridho Ilahi. Karena pemerintah berperan sebagai perisai rakyat, akan menjadi tameng dari agenda hegemoni climatte change maupun dari praktek kapitalisasi hutan dan kekayaan alam lain milik umat.
Pemerintah yang menerapkan sistem Islam akan mengelola sendiri hutan dan lahan gambut didasarkan pada paradigma yang shahih dan bijak. Semata-mata demi kesejahteraan rakyat dan diimbangi dengan pelestariannya. Sistem Islam adalah satu-satunya yang dapat menuntaskan problematika hutan dan lahan. Maka wajib dan sangat urgent bagi negara untuk segera menerapkannya.
Wallahu’alam.