Karhutla Terulang Kembali, Bagaimana Islam Mensolusi?

Oleh: Tri S, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi )

Ratusan ribu hektar hutan dan lahan  gambut yang memiliki berbagai fungsi penting bagi kehidupan ratusan juta orang, kembali terbakar untuk puluhan kalinya. Di Sumatera, Kalimantan, sulawesi hingga Papua. Dampak kerusakan lingkungan yang mengerikan dan polutan berbahaya yang dihasilkan begitu mudah diindera.  Udara terasa semakin panas dan tidak nyaman untuk bernafas. Pengidap ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) terus berjatuhan, khususnya di wilayah disekitar kejadian. Di Bengkalis-Riau misalnya, selama 13 hari (12-25 Februari 2019) KarHutLa di Pulau Rupat Bengkalis dan Kota Dumai, mengakibat ribuan warga menderita ISPA (riauonline.co.id, 27/02/2019). 

Bagaimana pun, ini menjadi bukti, rezim dengan berbagai program neolibnya gagal mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut. Sementara tidak sedikit tenaga, perhatian dan anggaran yang dihabiskan.  

Harus diakui betapa bahayanya tindakan pemerintah yang menfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutan gambut. Berupa, pemberian hak kosensi kepada sejumlah korporasi sawit. Bahkan tindakan ini dikategorikan pintu kejahatan.  Pasalnya, Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun inipun puluhan hingga ratusan titik api ditemukan di wilayah kosensi (antaranews.com).

Tahun lalu, sepanjang 1 Januari hingga 25 Agustus ditemukan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) 3.578 titik api yang tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan. Ada 765 titik api tersebut berada di lahan korporasi (Tirto.id, 26 Agustus 2018).

 "Kami melihat bahwa justru terbanyak titik api yang terjadi dari Januari sampai 25 Agustus 2018 itu terjadi di konsesi yang diberikan kepada korporasi baik di kebun kayu maupun kebun sawit," kata Manajer Kampanye Keadilan Lingkungan Walhi Yuyun Harmono di depan KLHK, Jakarta, Senin (27/8). (pekanbaru.tribunnews.com).

Yang serius lagi adalah jumlah titik api tersebut cenderung meningkan (CNN Indonesia, 16 Agustus 2018.  Walhi Catat Jumlah Titik Api di Konsesi Gambut Naik) Penting diingat, ratusan titik api itu berada di lahan yang luasnya ratusan ribu hektar, sehingga jauh lebih berbahaya bila  dibandingkan dengan ratusan titik api di lahan milik masyarakat yang jumlahnya jauh lebih sedikit.  Pandangan ini sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalimatan Barat, Anton P Widjaya. “Seratus petani membakar lahan pertanian yang luasnya terbatas dampaknya tidak sama dengan satu perusahaan yang melakukan pembersihan lahan yang luasnya ribuan hektar," ujarnya. "Kerusakan dan polutan asap yang dihasilkan sangat mengerikan, apalagi jika ratusan perusahaan perkebunan melakukannya,” tambahnya. (Kompas.com, 28 Agustus 2018).

Namun, sudah menjadi rahasia umum keberpihakan rezim terhadap korporat pemilik lahan sawit begitu besar.  Rezim cenderung mempersalahkan masyarakat dan membela korporasi.  Sebagaimana tampak dari penyataan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman.  Ia menyebutkan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah masyarakat. Yang kemudian dibantah pihak WALHI, "Kami menyayangkan pernyataan Dirjen PPI KLHK tersebut karena tidak berpijak pada data, subjektif dan terkesan melindungi korporasi yang sengaja membakar ataupun lahan konsesinya terbakar." (Kompas.com, 28 Agustus 2018).

Demikian pula dalam hal penegakan hukum. Para korporasi pemilik lahan sawit meski sudah terdapat berbagai bukti, namun tetap saja tidak ada tindakan hukum yang tegas. Kalaupun dilakukan hanya pada korporat tertentu dan itupun sering “masuk angin” sehingga alih-alih menghentikan berdampak jerapun tidak. Begitu pula intervensi yang dilakukan Badan Restorasi Gambut, hanya mengenai lahan milik rakyat, sedangkan milik korporasi sawit tidak. Tragisnya lagi, meski sudah begitu nyata dampak dan bahayanya, pemerintah justru mendukung  korporasi milik lahan sawit berskala besar. Yakni, Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).

Tindakan berbahaya berikutnya yang dilakukan pemerintah adalah meratifiksi agenda hegemoni Climate Change. Yang untuk kepentingan inilah perkebunan-perkebunan sawit dibuka secara massive beberapa tahun terakhir. Agenda ini dibangun diatas dua asumsi yang penuh dusta.  

Pertama, ketersediaan energi fosil dunia akan segera berakhir sehingga harus beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT) yang salah satunya biofuel berbasis sawit. Sementara, di Indonesia ada puluhan hingga ribuan blok Migas. Dan sejumlah ahli menegaskan penurunan lifting migas Indonesia beberapa dekade terakhir lebih karena buruknya keseriusan mencari sumur-sumur baru.

Kedua, penggunaan energi fosil paling bertanggungjawab terhadap kenaikan suhu global. Sementara faktanya di Indonesia efek deforestasi jauh lebih berbahaya, sebagaimana keseimpulan  Rainforest Foundation Norwegia berkesimpulan, “Terdapat bukti yang meyakinkan penggunaan biofuel kelapa sawit lebih buruk beberapa kali terhadap iklim. 

Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) asal Indonesia juga di ekspor untuk memenuhi kebutuhan biofuel 19 negara Uni Eropa. Bahkan Indonesia produsen terbesar CPO di dunia (cnbcindonesia.com).

Dua tindakan berbahaya yang dilakukan rezim neoliberal, yakni pemberian hak kosensi, dan diadopsinya agenda hegemoni Climate Channge berkelindan satu sama lain   menjadi biang penyebab petaka KarHutLa. Dua tindakan ini juga sekaligus mencermin bahwa rezim hari ini adalah pelayan korporasi dan kepentingan kafir penjajah. Buah pahit ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Adapun program restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut, serta berbagai program lainnya yang selama ini dijalankan pemerintah, terbukti  tidak sedikitpun menyentuh kedua biang persoalan ini. Bahkan menfasilitasinya dengan mereduksi persoalan ideologis paradigmatik ke persoalan teknis dan teknologi.

Sementara dalam pandangan Islam hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan orang banyak adalah harta milik umum. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Negara berfungsi sebagai raa’in (pemeliharan urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Ditegaskan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam melalui lisannnya yang mulia, yang artinya, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). Artinya, apapun alasannya, negara tidak dibenarkan memberikan hak istimewa pemanfaatan hutan dan lahan gambut pada individu atau entitas tertentu, siapapun dia.  

Ini di satu sisi, di sisi lain, negara berfungsinya sebagai junnah (tameng).  Khususnya tameng bagi hutan dan lahan gambut yang merupakan harta publik dari agenda hegemoni Climate Change. Tentang fungsi ini Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertutur, yang artinya,”Hanyalah Imam (khalifah) itu ibarat pelindung, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dari musuh dengan kekuasaannnya....”  (HR Bukhari, Muslim, An Nasa’i). Penerapan pandangan Islam ini menjadi kunci solusi persoalan menahun KarhutLa. Hal ini mengharuskan kehadiran rezim sebagai pelaksana syari’ah secara kaaffah dalam bingkai khilafah. Tidak saja kebutuhan yang mendesak, khilafah adalah syari’at Islam yang diwajibkan oleh  Allah SWT.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak