Oleh: Fina Restiar
(Aktivis BMI Community Baubau)
Kebakaran hutan dan lahan, atau yang lebih dikenal dengan istilah 'karhutla' kini menjadi momok yang mengerikan dinegeri ini. Pasalnya, negeri yang terkenal dengan sumber daya alamnya yang melipah ruah, pun diperindah dengan luasnya hutan dan perkebunan,bahkan di juluki sebagai paru-parunya dunia itu kian mesra dengan bencana yang satu ini.
Karhutla, menurut Wikipedia bahasa Indonesia, adalah kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, yang terjadi di alam liar, yang juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya, terjadi karena beberapa faktor, seperti : pertama, perizinan bagi perkebunan kelapa sawit dan usaha lainnya. Kedua, penegakan hukum yang belum optimal. ketiga, saling lempar tanggung jawab akibat adanya celah pada hukum. Keempat, untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit yang seakan terjadi pembiaran. Kelima, adanya ketimpangan penguasaan lahan di wilayah-wilayah kebakaran hutan dan lahan, Keenam, sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang terus berjalan, sehingga, kebakaran hutan dan lahan juga terus berjalan karena sertifkasinya juga terus berjalan tanpa ada analisis mendalam.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), karhutla adalah bencana buatan yang terjadi akibat ulah manusia. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan bahwa 99 persen penyebab dari kebakaran adalah disengaja.
Fakta berdasarkan pemberitaan Kompas.com serta data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap bahwa Indonesia masih mengalami kebakaran hutan dalam tiga tahun terakhir meskipun gaungnya tak besar.
Sebagai contoh, dari Januari hingga Juli 2017, Riau saja mengalami kebakaran huitan seluas 1.052 hektar. Kebakaran hutan terparah terjadi di Rokan Hilir sebesar 281 hektar dan di Meranti 200 hektar. Wilayah Taman Nasional Tesso Nillo juga mengalami kebakaran. Sementara itu, wilayah Kalimantan Tengah berdasarkan data Karhutla Monitoruing System 11.127,49 hektar. Jumlah ini memang lebih rendah dari kebakaran hutan hebat pada tahun 2015 tetapi bukan berarti tak ada kebakaran.
Tahun 2018, wilayah Riau kembali mengalami kebakaran. Pada tengah tahun pertama, 1.962 hektar yang tersebar di 10 kabupaten dan kota di Riau terbakar. Tahun 2018 juga, wilayah Sumatera Selatan mengalami kebakaran seluas 37.362 hektar. Kebakaran terparah di 19.402 hektar.
Iqbal damanik, peneliti Auriga, mengatakam, "Dicatat KLHK, tahun 2017 saja terjadi 11.000 hektar lahan hutan."Ia merinci, tahun 2015 - 2016, 261.060 hektar lahan hutan terbakar. tahun 2016 - 2017, 14.604 hektar lahan hutan terbakar. Sementara, tahun 2017 - 2018, total kebakaran hutan mencapai 11.127 hektar.
Ironisnya, orang nomor satu di negeri ini mengatakan hal yang bertolak belakang dengan fakta yang ada. Pasalnya, dalam debat capres putaran kedua pada Minggu 17/2/2019, yang membahas tema tentang pangan, energi dan lingkungan. Yang ketika itu pula, dengan bangganya calon presiden nomor urut 1 sekaligus petahana, Joko Widodo (Jokowi) mengklaim bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir Indonesia tidak lagi mengalami kebakaran hutan.
"Dalam tiga tahun ini tidak terjadi kebakaran lahan, hutan, kebakaran lahan gambut, dan itu adalah kerja keras kita semuanya," pungkasnya. (Sumber - Tempo.co, 18/2/2019).
*- Akar Masalah -*
Karhutlah memang telah menjadi 'pelanggan' setia di bumi khatulistiwa ini. Betapa tidak, setiap tahun berita tentang kebakaran hutan maupun lahan mondar mandir di layar kaca.
Na'asnya, pemerintah seolah tak serius mengatasi topik yang satu ini. Terbukti, dengan terus berulangnya karhutla di tiap tahunnya. Meskipun berbagai program telah dirancang pun dijalankan, tetap saja tak memberikan dampak yang signifikan apalagi sampai menyudahinya. Bukan hal mustahil. Sistem Demokerasi Kapitalisme sekularisme memang meniscayakan banyak masalah yang tak berkesudahan.
Dengan berulangnya Karhutla untuk kesekian kalinya menunjukkan rezim neolib dan berbagai program yang dijalankan telah gagal dan sia-sia belaka. Semua ini berawal dari pengelolaan lahan dan hutan gambut yang dilandasaskan pada pandangan sekuler. Yakni dengan menggunakan hak konsensi yang tidak lain adalah pemberian hak, izin atau tanah oleh pemerintah, perusahaan atau individu yang dengan gamblang membolehkan pembukaan tambang dan penebangan hutan.
Padahal, betapa bahanyanya tindakan pemerintah yang memfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutan gambut ini dengan pemberian hak konsesi kepada sejumlah korporasi sawit. Bahkan tindakan ini dikategori sebagai pintu kejahatan. Pasalnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini pun puluhan hingga ratusan titik api ditemukan justru di wilayah konsesi. Dalam kondisi perekonomian kapitalis yang serba liberal saat ini, dengan alasan demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta.
Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya. Akibat diserahkan kepada swasta, pihak swasta akan berusaha mencari cara termurah tapi menguntungkan saat melakukan pengolahan lahan gambut. Maka tak heran jika pembakaran hutan menjadi pilihan untuk mengawali pembukaan lahan guna mengembangkan usahanya. Apakah itu akan merugikan rakyat sekitarnya ataukah akan merusak alam dan kesimbangan ekosistem, hal itu tak lagi dipersoalkan. Di sinilah, bahaya yang muncul yang seharusnya bisa dicegah.
Ada dua tindakan berbahaya yang dilakukan rezim neoliberal, yakni pemberian hak konsesi, dan diadopsinya agenda hegemoni Climate Change berkontribusi satu sama lain menjadi biang penyebab petaka Karhutla. Dua tindakan ini juga sekaligus mencerminkan bahwa rezim hari ini adalah pelayan korporasi dan kepentingan kafir penjajah. Buah pahit ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.
*- Islam Punya Solusi -*
Di dalam pandangan Islam, hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan orang banyak sehingga dikategorikan sebagai harta milik umum. Rasulullah Saw bersabda yang artinya, ‘Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api’ (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Negara berfungsi sebagai raa’in (pemeliharan urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh pemerintah untuk kemaslahatan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, keuntungan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara seimbang. Dalam hal ini pemerintah juga perlu untuk mendidik dan membangun kesadaran masyarakat guna berpartisipasi mewujudkan kelestarian hutan, agar manfaatnya dapat terus dirasakan oleh generasi berikutnya. Demikianlah, cara Islam mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut yang menjadi terror di negeri ini setiap tahunnya.
Pertanyaannya, mampukah aturan islam dalam mengatasi masalah-masalah yang ada seperti 'karhutla' diterapkan pada sistem saat ini (baca : demokrasi)? Tentu saja jawabannya adalah 'tidak'. Sebab sangat terang perbedaan antara yang haq (sistem Islam) dan yang bathil (demokerasi). Sehingga, mengharapkan keberkahan dalam sistem Demokerasi tak ubahnya bagai mimpi disiang bolong! Mustahil !
Untuk itu, mari kita bahu-membahu memperjuangkan tegaknya kembali 'diennullah' yang dengannya aturan Islam dapat diterapkan secara totalitas dalam bingkai negara, Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a'alam bisawwab.