Kafir, Perlukah Direvisi Menjadi Non Muslim?


Oleh: Yuli Ummu Raihan

( Member Akademi Menulis Kreatif)


Apalah arti sebuah nama, tapi ternyata sebuah nama atau sebutan bisa menimbulkan masalah, seperti yang sempat menghebohkan publik beberapa waktu lalu. Tentang penyebutan istilah kafir terhadap orang-orang di luar Islam.


Media cetak dan online ramai memberitakan hasil musyawarah nasional dan konferensi besar NU di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa barat. Pada Jumat, 1 Maret 2019 lalu yang menghasilkan keputusan yang menjadi sorotan publik tentang penghapusan sematan kafir kepada non muslim yang menjadi warga negara Indonesia dan diganti dengan sebutan muwathinun (warga negara). Alasannya karena kata kafir dapat menyakiti warga non muslim dan sebagai bentuk kesetaraan antara mayoritas dan minoritas.


Menurut DR. Muqshit Ghazali selaku pimpinan kajian bahtsul masail dalam acara tersebut, kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.


Setali tiga uang ketua PBNU Said Aqil Siraj memberi uplause, begitupun KH. Ma'ruf Amin yang memandang ini sebagai langkah positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mereka berpendapat tak ada istilah kafir baik kafir harbi, dzimmi, mu'ahad, dan musta'man bagi non muslim melainkan warga negara Indonesia, yang berbhineka tunggal ika, jadi tidak relevan menggunakan istilah agama ke ranah publik atau bernegara. Menurut mereka, semua sama warga negara yang sederajat (Nahnu al Muwathinun).


Istilah kafir dan muslim adalah istilah yang berasal dari Al quran yang digunakan untuk memberi perbedaan antara kaum yang ingkar dan beriman. Selama berabad-abad istilah ini telah digunakan dan tidak pernah ada pertentangan baik dikalangan umat Islam maupun di luar Islam. 


Para ulama juga memakai istilah kafir di dalam kitab mereka karena berkaitan dengan  permasalahan fiqh dan implikasi hukum yang ditimbulkan padanya.

Seperti istilah kafir dzimmi adalah sebutan bagi non muslim yang menjadi warga daulah Islam, dan mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara muslim. Seperti mendapat pelayanan kesehatan, pendidikan, jaminan keamanan namun tetap bebas memeluk agamanya, tidak didiskriminasi, hanya dengan membayar jizyah.


Begitupun kafir mu'ahad (non muslim yang terikat perjanjian dengan daulah) mendapat perlakuan istimewa seperti yang disabdakan Rasulullah, "Siapa saja yang membunuh kafir mu'ahad maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu bisa dirasakan dari jarak perjalanan 40 tahun". (HR.Muslim).


Sepanjang sejarah Islam orang-orang kafir mendapat rasa aman, tidak mendapat gangguan fisik, psikis, atau kekerasaan teologis seperti klaim sekelompok muslim liberal saat ini.


Cendekiawan Barat, Will Durant mengakui ini, ia mengatakan bahwa "Para khalifah telah memberi rasa aman kepada manusia (muslim dan non muslim) hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka..." ( The Story of Civilization).


Sejumlah dokumen di museum Turki adalah saksi bagaimana keagungan perlakuan khilafah terhadap non muslim atau kafir. Adalah Aya Sofia sebuah masjid/museum yang memamerkan surat-surat khalifah (Usman Fermans) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Ustmaniyah dalam memberi jaminan, perlindungan dan kesejahteraan kepada warganya tanpa memandang muslim atau non muslim maupun kepada asing pencari suaka. Khalifah juga pernah memberikan sertifikat tanah pada pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia pada tahun 925 H/1519 M.


Ada juga surat ucapan terima kasih dari Pemerintahan AS atas bantuan pangan saat terjadi kelaparan pasca perang dengan Inggris pada abad 18.


Ada juga jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil ke khalifah 7 Agustus 1709 M.


Yang paling muktahir adalah peraturan khilafah yang membebaskan bea cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil (Suaka politik) ke wilayah Utsmani pasca revolusi Bolschewik, 25 Desember 1920.


Berdasarkan fakta diatas maka menganggap kata kafir sebagai kekerasan teologis tidaklah berdasar, terlalu mengada-ada dan buta sejarah. Jika ingin jujur sebagai muslim juga berhak merasa terganggu karena banyaknya sebutan yang tidak mendasar pada kaum muslim.

Bukankah kekerasan teologis saat menyebut muslim dengan label  radikal, intoleran, bahkan teroris padahal kenyataannya umat Islam lah yang selalu menjadi korban baik kekerasan fisik, psikis, maupun harta dan jiwa.


Derita dan nestapa akibat kekerasan fisik dan psikis justru terus menimpa kaum muslim hingga hari ini, belum kering air mata karna suatu tragedi sudah ada lagi dan lagi tragedi lainnya. Lihatlah nasib muslim di Palestina oleh kejinya kafir Yahudi, Rohingnya oleh kebrutalan kafir Budha, Uyghur oleh keganasan kafir China,  Khasmir oleh kejahatan kafir Hindu, kemarin di New Zealand, dan yang terbaru di Mali diperlakukan sangat keji dan tidak berperikemanusiaan hanya karena mereka muslim.

Tapi tak ada satupun berani mengatakan itu tindakan teroris, melanggar HAM,  melanggar hukum dll.


Lalu apakah kata kafir tetap harus direvisi?


Kafir adalah siapa saja yang tidak memgimani Allah dan Nabi Muhammad saw, atau siapa saja yang mengingkari ajaran apapun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam, atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.

Dalam kamus bahasa Arab dinyatakan bahwa kafir adalah siapa saja yang tidak mengimani keesaan  Allah, atau kenabian Muhammad saw, atau risalah Islam, atau ketiga-tiganya (kamus Al- Mujam al Wasith,II/891).

Dalam al quran pun bertebaran kata kafir seperti berikut :

"Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah Al masih putra Maryam" ( QS. Al-Maidah: 17&72).


"Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah oknum ketiga diantara tiga oknum" (QS. Al-Maidah :73).


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin/penolong/pelindung/teman akrab kalian, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kalian memgambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim" (Qs. Al-Maidah :51).


Dan masih banyak ayat lain yang menyebut non muslim dengan sebutan kafir baik dari sifat, dan gambaran mereka. Bahkan Allah memerintahkan kita bersikap keras terhadap mereka. Tapi lihatlah hari ini justru sebagian muslim liberal justru berteman akrab dengan orang-orang kafir dan keras bahkan memusuhi saudara muslimnya sendiri.


'Kafir tetaplah kafir'

Istilah kafir tetaplah kafir  ini adalah istilah yang datang langsung dari Allah swt, maka siapa saja yang ingin mengubahnya maka  berarti ia ingin mengubah aturan Allah, Al quran sebagai wahyu Allah bersifat mutlak wajib di imani baik isinya dan konteks yang tertulis didalamnya termasuk kata kafir, bahkan mengubah satu huruf pun tidak boleh, apalagi mengganti maknanya sesuai nafsu dan kepentingan. Ini adalah bentuk kesombongan dan kelancangan manusia sebagai hamba Allah apalagi ia seorang muslim. Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i disebutkan seorang muslim yang tidak mengkafirkan pemeluk agama selain Islam  atau membenarkan doktrin mereka maka ia dihukumi kafir.


Imam Nawawi juga mengatakan siapa saja yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam, membenarkan doktrin mereka maka ia telah kafir meskipun bersamaan dengan itu menampakkan dirinya Islam dan meyakininya.(An nawawi, Raudhah ath-Thalibin,3/444).


Maka bagaimana seharusnya?


Sebagai seorang muslim kita seharusnya sami'na wa atho'na dengan segala perintah Allah yang telah dijelaskan didalam Al quran tanpa ada keraguan sedikitpun, meyakini semua isi Al quran dan berusaha mengamalkannya, tidak boleh mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang lain atau malah justru berniat mengubah isi atau makna yang telah ditetapkan Allah.

Bukankah dalam agama lainpun mempunyai istilah sendiri untuk orang-orang diluar keyakinan mereka dan itu bukan suatu masalah.

Sungguh ini adalah salah satu upaya musuh Islam untuk membuat pemeluknya ragu dengan ajaran agamanya sendiri, berusaha membuat umat Islam mengikuti keinginan mereka, sesuai rencana mereka dan memecah belah umat Islam itu sendiri.


Maka disinilah pentingnya dakwah, melakukan pembinaan pada umat Islam agar kokoh keyakinannya pada Islam, menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai sebagai seorang muslim, dan menjadikan akidah Islam satu-satunya pandangan hidup dan tolak ukur bukan kepentingan sekelompok orang. Maka dibutuhkan suatu jamaah yang memperjuangkan hal ini, mengopinikan syariat Islam ditengah-tengah masyarakat, yang konsisten dengan fikrah dan thoriqohnya tanpa menyimpang sedikitpun.

Dan tidak mencukupkan hanya dengan dakwah serta membentuk opini tapi berusaha mewujudkan terbentuknya suatu institusi yang menjalankan syariat Islam secara kaffah yaitu khilafah. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak