Oleh : Nibrazin Nabila
(Remaja Pejuang Islam Kaffah)
Akhir-akhir ini, di Indonesia sedang ramai-ramainya polemik tentang penyebutan “kafir” bagi kaum non muslim. Ada salah satu konferensi Nahdhatul Ulama yang salah satu rekomendasinya adalah mengganti penyebutan kata ‘kafir’ menjadi ‘non-Muslim’ secara kewarganegaraan. Padahal, istilah ‘kafir’ dan ‘muslim’ adalah istilah yang sejak awal digunakan oleh Al-Qur’an. Istilah ini murni digunakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya untuk membedakan kaum yang beriman dan kaum yang ingkar. Salah satu surah yang berisi tentang sebutan Kafir adalah Q.S Al-kafiruun.
Penggantian penyebutan ini, dilatar belakangi dianggap mengandung kekerasan teologis terhadap kaum non-muslim. Kalau memang alasan dibalik penggantian penyebutan kafir ini karena alasan kekerasan teologis, psikis ataupun fisik bagi kaum non-Muslim, mari kita lihat bagaimana perlakuan negara Islam terhadap kaum non Muslim pada zaman pemerintahan Islam. Kafir dzimmi misalnya, mereka adalah non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Islam. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Muslim dalam Daulah Islam. Misal, dalam hal hak memeluk agama secara bebas, juga hak mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan keamanan, dll dari Daulah Islam. Dalam hal ini, tidak ada diskriminasi antara warga Muslim dan non-Muslim.
Karena itu, melarang penggunaan kata kafir untuk menyebut non-Muslim karena mengandung unsur kekerasan teologis, tentu tidak relevan. Kalaupun saat ini banyak tindakan kekerasan di dunia, termasuk di negeri ini. Bukan hanya kekerasan teologis, tapi kekerasan psikis bahkan kekerasan fisik. Dan hal itu sebetulnya lebih banyak dirasakan kaum Muslim sendiri. Misalnya, kaum Muslim diberi label “teroris”, “radikal”, “intoleran”, “mengancam NKRI”, hanya karena menolak dipimpin oleh orang-orang kafir, ingin menerapkan Islam secara kaffah, anti terhadap neo-liberalisme atau para Muslimahnya berjilbab syar’ie dan bercadar.
Sebenarnya, selama berabad-abad penggunaan kata kafir untuk menyebut orang-orang diluar Islam nyaris tidak pernah menimbulkan problem. Baik di internal umat Islam sendiri maupun kalangan non-Muslim. Hanya yang menjadi permasalahan bukanlah hal itu, tapi ada sebuah ide pemikiran yang ada di belakangnya. Kita bisa lihat yang menjadi otak atau dalang dibalik keputusan ini, dan kita sudah faham bahwa ini adalah orang-orang liberal. Bahwasannya kata “kafir” tidak boleh digunakan dalam konteks kewarganegaraan. Ini yang berbahaya. Karena disini ada upaya ingin menaruh negara diatas agama, bisa dibilang “ayat konstitusi diatas ayat suci”. Naudzubillah.
Dimata negara tidak ada kafir dan mukmin, semuanya sama. Bagi mereka kata kafir dan muslim harus dihilangkan dalam konteks kewarganegaraan, walau dalam istilah teologis masih dibolehkan. Ini sangat terlihat bahwa ada pihak tententu yang ingin melatih cara berfikir kaum muslim menjadi pemikiran sekuler, “Jangan bawa-bawa agama, jangan bawa-bawa Allah dalam urusan bernegara”.
Dari polemik ini kita bisa melihat, memang betul kita tidak boleh untuk saling menyalahkan, tidak boleh untuk saling berpecah, hanya saja kita tidak bisa untuk membiarkan yang benar menjadi salah dan yang salah itu dianggap wajar ketika kita ingin membuat persatuan. atau ingin merajut sebuah persatuan. Maka inilah yang perlu kita pahami, bahwa aturan Allah sangat lengkap, sangat sempurna, paripurna, dan aturan inilah yang bisa menjadi solusi jika diterapkan. Jadi bila diterapkan, kata-kata kafir misalnya tidak akan seperti sekarang. Dimonsterisasi, dianggap memecah belah, dianggap menyakiti. Kalau misalnya dianggap menyakiti, berarti menuduh bahwa Allah menurunkan istilah, menurunkan hukum, menurunkan ayat yang itu menyakiti. Walaupun itu dalam masalah kewarganegaraan. Dan menganggap, seolah-olah di dalam hukum negara tidak ada hukum Allah disana. Maka dari sini, kita harus bersikap lebih tegas kembali dalam menegakkan ayat-ayat Allah. Dan bagi kita kaum Muslim, tidak perlu kita merevisi istilah yang sudah Allah buat hanya karena kita ingin dianggap Muslim yang toleran. Karena pada hakikatnya, toleransi dalam Islam adalah bagimu agamamu, bagiku agamaku. Begitupun ketika dalam kewarganegaraan. Tidak ada pemisahan agama dalam urusan kehidupan.
Maka dari itu, polemik ini tidak akan terjadi jika hukum Islam diterapkan, karena hukum Islam memang wajib ada di dalam sendi kehidupan, hanya hukum Islam lah yang bisa menuntaskan problematika ummat, termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Dan ini hanya bisa diterapkan ketika sistem Islam ditegakkan. Tidak ada cara lain, selain memperjuangkan Khilafah ala minhajin nubuwwah. Allahuakbar!! Wallahu a’lam bi as-shawwab.