Oleh Rifdatun Aliyah
Islamofobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi populer setelah peristiwa 11 September 2001 (http://id.m.wikipedia.org/dwiki/Islamofobia). Islamofobia diciptakan untuk menebar ketakutan terhadap simbol Islam dan ajaran Islam. Islamofobia dapat menimpa kepada non Muslim maupun Muslim. Bagi non Muslim mereka dapat membenci, melakukan teror, atau bahkan menghindar dari segala hal yang berkaitan dengan Islam dan ajaran Islam. Sedangkan bagi Muslim, mereka dapat saling membenci dan menghasut saudaranya sesama Muslim khususnya kepada Muslim yang dianggap ekstrim oleh pandangan dunia. Muslim juga akan ragu terhadap ajaran-ajaran Islam yang dianggap mendiskriminasi umat tertentu.
Hal ini seperti yang terjadi pada pertengahan bulan Maret. Sekitar 50 Muslim jamaah masjid Al Noor di Linwood, Selandia Baru tewas dibunuh oleh warga pengidap Islamofobia (www.bbc.com/16/03/2019). Masih pada bulan yang sama, seorang pria bersenjatakan palu godam diperkirakan merusak empat masjid dalam aksi beruntun pada kamis dini hari 21 Maret 2019 di Birmingham, Inggris (www.bbc.com/22/03/2019). Di Kopenhagen, Denmart, pemimpin partai sayap kanan Stram Kurs, Rasmus Paludan, membakar salinan Al-Quran pada tanggal 22 Maret 2019 (www.republika.co.id/23/03/2019).
Sedangkan di Indonesia, peristiwa Islamofobia akhir-akhir ini nampak ketika guru agama Islam di Semarang menolak paham Khilafah dan mendukung Jokowi dalam pilihan presiden 2019 (www.merdeka.com/17/03/2019). Hal senada juga terjadi ketika Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily melaporkan adanya bendera HTI yang bertuliskan kalimat tauhid hadir dalam kampanye Prabowo di Manado (www.tribunnews.com/25/03/2019). Padahal jelas bahwa Khilafah adalah ajaran Islam yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab mukhtabar. Sedangkan al liwa juga merupakan panji Islam bukan milik ormas tertentu.
Semua upaya Islamofobia sejatinya adalah upaya untuk menghadang dan menghilangkan kebangkitan Islam dan umat Islam. Para penjajah asing dan kaum kafir harbi fi'lan yaitu kafir yang memerangi Islam secara terang-terangan tidak ingin jika Islam kembali memimpin dunia. Lihat saja di Indonesia ketika jagoan asing sang penista agama tumbang dalam pemilihan gubernur. Para ulama lantas dipersekusi, ormas Islam yang tak bersalah dicabut badan hukumnya, ulama dijadikan tersangka, dan masih banyak yang lainnya.
Islamofobia hanya dapat dihentikan ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah atau totalitas. Penerapan ini membutuhkan penegakkan institusi negara yakni Khilafah Islamiyah. Melalui Khilafah Islamiyah, Islam akan mampu menebar rahmat ke seluruh alam. Islam akan melepaskan manusia agar terhindar dari rasa takut terhadap keberadaan orang asing. Sistem peraturan Islam akan sesuai dengan fitrah manusia, menyejukkan hati dan memuaskan akal.
Lihatlah ketika Khilafah Islamiyah berjaya. Umat Islam dan umat agama lain mampu bersanding dalam sebuah kedamaian dan ketentraman selama kurang lebih 13 abad. Khilafah telah mampu mengayomi semua agama dan ras. Semua itu merupakan sebuah keniscayaan bagi negara dan penduduknya yang mau tetap dalam ketakwaan kepada Allah swt dan Rasulullah saw. Bukankah tugas seorang Muslim adalah taat kepada Allah swt semata? Allah swt berfirman dalam surat Al Bayyinah ayat 5 yang artinya, "padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus". Wallahu A'lam Bishowab.