Dewi Sartika
( Aktivis Back To Muslim Identity Kolaka)
Bila kita melihat kondisi kaum perempuan saat ini, kita akan mendapatkan bahwa mereka ada pada kondisi yang memprihatinkan. Akibat himpitan ekonomi tak sedikit perempuan harus meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi TKW misalnya, kita dapati berita bahwa mereka di sana ada yang akhirnya mengalami kekerasan dan penyiksaan dari majikan. Kita dapati pula di berita ada ibu yang tega membunuh anaknya karena himpitan ekonomi. Ataupun berita ibu rumah tangga yang bunuh diri karena depresi.
Di dalam sistem sekarang pula kita mendapati maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak (trafficking), yang tak sedikit dari mereka dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil (PSK). Kondisi ini diperparah dengan munculnya gagasan kesetaraan jender, yang mengakibatkan perempuan berbondong-bondong meninggalkan kodratnya dan berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki. Namun apa daya, ketika mereka memasuki ranah publik, mereka dieksploitasi habis-habisan oleh para kapital, dimana mereka menjadi umpan dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah. Lantas terbersit dalam benak kita, kenapa semua ini terjadi?
Perempuan, Lumbung Komersial
Hal ini terjadi tidak lepas dari sistem yang diemban dan diterapkan di berbagai negera. Sistem Kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan oleh kebanyakan negara di dunia termasuk Indonesia, memiliki cara pandang yang khas dan akan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kapitalis telah menjelma menjadi sosok malaikat penolong manusia, membuat manusia tak sadar, lalu memakannya. Hal inilah yang sekarang dialami oleh perempuan. Kapitalis menjadikan perempuan sebagai objek baru yang bisa dimanfaatkan. Perempuan dijadikannya sebagai lumbung komersial, target baru produk kapitalis yang sangat menjanjikan. Saat ini, perempuan diperlakukan dan dipandang sebagai komoditas dan "mesin pencetak" uang. Oleh karena itu, tidak heran kini kasus trafficking serta pelecehan perempuan kian marak.
Sistem kapitalisme pun memelihara kondisi lingkungan materialistik dan konsumtif agar sistem ini tetap bertahan, salah satunya dengan meluncurkan gempuran serangan propaganda yang mendukung sistem melalui berbagai media. Contoh kasus kecil, perempuan Indonesia yang notabene memiliki kulit berwarna kuning langsat diserbu dengan propaganda bahwa cantik itu berkulit putih. Maka, berlomba-lombalah wanita Indonesia membeli produk-produk pemutih kulit. Padahal, jika dianalisis lebih jauh sebenarnya kulit orang di Asia, termasuk Indonesia yang terlewati garis khatulistiwa, lebih sehat dan cantik karena paparan sinar matahari yang cukup. Tidak seperti kulit orang Eropa yang cenderung putih pucat karena kurang paparan sinar matahari.
Tingginya angka kemiskinan, memaksa kaum perempuan untuk mencari pekerjaan sebagai buruh migran, buruh pabrik, buruh tani, pedagang kecil serta kerap terpaksa bekerja dalam kondisi yang mirip perbudakan untuk bertahan hidup demi sesuap nasi. Kaum perempuan digiring untuk sejajar dengan kaum laki laki dalam hal mencari materi, alhasil peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga pun sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan yang berujung pada rusaknya generasi yang akan memimpin peradaban ini. Selain itu, paham liberalisme dan materialisme menjadikan perempuan konsumtif dan mengutamakan nilai-nilai yang bersifat materi, termasuk ketika mereka memaknai kebahagiaan dengan sesuatu yang jasadi. Pada akhirnya, dengan mudah mereka menjadi sasaran empuk iklan-iklan produk kapitalis; mulai dari produk makanan, mode pakaian, produk kosmetik hingga produk-produk hiburan semacam film dan lain-lain.
Bahkan dengan paham ini pula, sebagian kaum perempuan rela menjerumuskan diri dalam berbagai bisnis kotor. Akibatnya, dalam masyarakat kapitalistik, industri prostitusi, trafficking, pornografi pornoaksi dan industri hiburan (termasuk kontes ratu-ratuan yang merusak akhlak), justru berkembang pesat. Semua itu bahkan dianggap sebagai penggerak ekonomi bayangan (shadow) yang bisa menghasilkan untung besar, baik bagi para pengusaha maupun sebagai sumber pajak yang besar bagi negara. Semua fakta diatas menjadi bukti bahwa kapitalisme tidak akan pernah bisa menempatkan perempuan pada posisi yang mulia. Malah sebaliknya adat kebiasaan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme adalah racun yang menghinakan perempuan.
Islam : Perempuan Menyumbang Karya Bukan Mencari Nafkah
Dalam sejarah Islam, perempuan menempuh ribuan mil untuk menuntut ilmu. Ilmu itu diamalkan, namun dasarnya bukan untuk mencari nafkah namun menyumbang karya. Kebutuhan keluarga tetap menjadi tanggungjawab suami, kerabat laki-laki atau negara. Islam menetapkan bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai penjaga generasi, yakni ibu dan pengatur rumah tangga. Tugas ibu adalah mencetak generasi menjadi generasi cemerlang, generasi yang memiliki kepribadian islam, memiliki pola pikir islam serta pola sikap yang islami. Dengan kepribadian islam, generasi ini mampu memecahkan berbagai permasalahan dirinya dan lingkungannya dengan sdut pandang islam. Generasi terbaik jenis ini adalah generasi para sahabat Rasulullah serta nama-nama besar yang dikenal sepanjang masa, seperti Imam Syafii, Muhammad Al Fatih, dsb.
Generasi ini lahir dari hasil pendidikan ibu sebagai madrasatul ula dan utama, yang menanamkan aqidah islam semenjak dini pada anaknya, pembiasaan-pembiasaan pelaksanaan hukum Islam, keteladanan, dan penguasaan tsaqofah dasar. Tentu hal ini dilakukan bersama sang ayah. Mendidik tentu berbeda dengan mengurus. Mendidik membutuhkan segenap perhatian, tenaga, waktu, ilmu, usaha keras, serta kondisi yang menunjang. Tidak mungkin dilakukan paruh waktu atau dengan alasan quality time.
Adapun sebagai istri dan pengatur rumah tangga, perempuan diwajibkan untuk taat kepada suaminya, Namun bukan berarti, suami boleh bersikap diktator kepada istrinya. Islam justru menempatkan hubungan suami dan istri seperti persahabatan yang baik, yang saling tolong menolong sesuai hak dan kewajibannya. Peran istri yang solehah akan berpengaruh kepada suaminya, ia sebagai penasihat, teman, dan penguat iman. Dan sebaliknya, istri yang tidak baik cenderung mempengaruhi suaminya menjadi tidak baik. Banyak kasus korupsi yang dilakukan para suami bermula dari keinginan istri yang berkebihan. Islam tak memandang posisi kepala keluarga lebih tinggi dari ibu rumah tangga, atau posisi penguasa lebih mulia dari rakyat jelata, sebagaimana dalam pandangan Kapitalisme. Yang dilihat dalam Islam justru seberapa jauh kepatuhan dan keoptimalan masing-masing dalam menjalankan peran-peran yang Allah SWT berikan itu.
Namun, ditengah kehidupan sekuler kapitalis seperti saat ini, dua tugas utama perempuan ini menjadi hal yang sangat berat dilakukan oleh para perempuan, karena para ibu terpaksa ditarik keluar rumah untuk ikut bekerja, sehingga akhirnya mengabaikan tugas utama ini. Selain itu, saat ini muncul anggapan bahwa perempuan yang hanya bekerja dirumah sebagai ibu rumah tangga diangaap sebelah mata. Bahkan ide-ide kebebasan telah menyerang norma-norma dan syariat islam yang berhubungan dengan perempuan dengan menganggap bahwa islam telah mengekang perempuan untuk mengekspresikan keinginannya.
Agar tugas utamanya sebagai pencetak dan penjaga generasi, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, berjalan dengan baik dan sempurna, Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagi kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada dirinya. Perempuan tidak usah bersusah-payah bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai risiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis sekarang ini. Bahkan negara akan memfasilitasi para suami untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Negara juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada. Bahkan jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para ibu.
Islam pun tak membebani perempuan dengan tugas-tugas berat yang menyita tenaga, pikiran dan waktunya seperti dengan menjadi penguasa. Islam hanya mewajibkan mereka mengontrol penguasa dan menjaga pelaksanaan syariah di tengah umat dengan aktivitas dakwah dan muhasabah, baik secara individu maupun secara jamaah. Islam bahkan mewajibkan para penguasa menyediakan seluruh fasilitas yang menjamin pelaksanaan tugas mereka sebagai ibu generasi, yang mencetak generasi pemimpin, seperti halnya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Dengan begitu kaum perempuan memiliki kecerdasan sebagai pendidik, dan kualitas kesehatan yang mumpuni. Negara juga wajib menjamin keamanan bagi rakyat yang memungkinkan kaum perempuan bisa berkiprah di ruang publik sesuai batasan syariah yang diberikan.
Begitulah cara Islam memuliakan serta menyejahterakan perempuan. Hanya dengan Islam perempuan akan memperoleh kembali kemuliaan dan kehormatannya. Wallahu a’alam