Oleh : Ummu Hanif (Gresik)
Menjelang Pilpres April 2019 mendatang, banyak opini yang menggiring suara menuju paslon tertentu dan atau sikap politik tertentu. Tujuannya adalah mendapat dukungan masyarakat sesuai kepentingan masing – masing pihak. Saat – saat kampanye seperti ini, suara masyarakat bak intan permata, yang selalu diperebutkan demi sebuah kemenangan para kontestan. Berbagai upaya (kalau tidak mau disebut rayuan), terus diupayakan.
Mengingat masyarakat Indonesia mayoritas adalah penduduk muslim, maka isu islam sering kali dijadikan sebagai kendaraan untuk memuluskan keinginan. Sejak opini muslim atau tidak muslimnya kedua calon presiden, pro kontranya kepiawaian membaca Al-qur’an, sampai sifat – sifat kenabian dan akhlak masing – masing calon, menjadi topik hangat di berbagai media maupun dunia nyata. Spirit islam, akhlak islam serta bersimbol islam menjadi poin utama setiap bahasan.
Dalam perspektif Islam, pemimpin merupakan hal cukup fundamental dalam tatanan sosial. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat. Ibarat kepala dari seluruh tubuh, peranannya sangat menentukan perjalanan dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Tak hanya kemaslahatan dunia, seorang pemimpin juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur serta mengawasi tegaknya syari’at Allah.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Namun dalam perjalanannya, manusia senantiasa dibelenggu dan digoda oleh setan agar berpaling dari pengabdian tersebut. Sehingga Allah Ta’ala mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk memimpin manusia agar senantiasa taat kepada Allah. Setelah penutup para nabi wafat, maka tugas memimpin tersebut berpindah ke pundak para imam (khalifah) kaum Muslimin.
Al-Baidhawi menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti (tunduk kepada)-nya. (Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’, hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Dengan demikian Imamah (kepemimpinan) bukanlah tujuan, akan tetapi ia hanya wasilah untuk menjalankan ketaaan kapada Allah. Karena islam adalah ideologi dari langit yang harus diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Sehingga islam tidak hanya diambil sebagai simbol, akhlak, atau spiritnya saja. Dan Ketika pemimpin tidak bisa mewujudkan atau memudahkan rakyatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka pemimpin seperti ini tidak layak dipilih oleh umat, meski dia berakhlak islami, punya spirit islami maupun menggunakan simbol -simbol islami. Sesuai firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Haj: 41)
Wallahu a’lam bi shawaab.