Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Pendakwah Yusuf Mansur menilai Capres 01 Joko Widodo ( Jokowi) adalah sosok yang memberikan harapan, sebagai kepala negara maupun pemimpin keluarga yang sukses (Merdeka.com, 2 Maret 2019).
Ustaz YM, sapaannya, bercerita kisah Nabi Musa bagaimana dalam Islam pemimpin harus menghadirkan harapan. Musa, saat terpojok dikejar tentara Firaun, tampil tegar dan memberikan harapan.
"Apa kata Musa AS? Beliau dengan yakin menjawab, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku," kata Ustaz YM mengutip surah asy-Syu'araa' ayat ke-62, dikutip dari keterangan pers, Sabtu (2/3).
Hal itu disampaikan ketika berceramah dalam diskusi publik dan pembekalan relawan pemenangan 01 se-Jawa Barat di Hotel Papandayan, Bandung, Sabtu (2/3).
Ustaz YM menilai Jokowi memiliki spirit kenabian yang layak ditiru. Dia juga mengajak masyarakat meneladani kebaikan pemimpin, tanpa terkecuali Jokowi.
"Jika beliau memiliki spirit Nabi Musa ikuti, jika beliau miliki spirit Nabi Adam ikuti, jika beliau miliki spirit Nabi Muhammad SAW ikuti," katanya, yang juga berpesan agar bangsa Indonesia menghargai siapapun pemimpinnya, serta tak mudah menghujat dan menyematkan fitnah.
Ustaz YM juga bercerita sisi religius Jokowi berdasarkan pandangan pribadinya.
"Saya sudah sering sampaikan di banyak kesempatan, bagaimana Jokowi tetap menjaga salat dan puasa Senin-Kamis di tengah kesibukannya," kata dia.
Menurut pendiri Paytren ini, penuturan ihwal keislaman Jokowi juga banyak disampaikan orang-orang terdekatnya, termasuk sejumlah menteri di Kabinet Kerja. Di antaranya Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan sang istri.
"Keduanya adalah teman dekat saya dan bercerita suatu ketika Jokowi malah pernah menyarankan menunaikan salat hajat kepada Imam Nahrawi dan sang istri agar keinginan mereka terkabul. Kurang religius apalagi sosok presiden seperti beliau," kata dia.
Dia sosok yang rajin menunaikan salat lima waktu. Shaum tiap hari Senin dan Kamis. Dia memberikan harapan kepada rakyat bak nabi Musa yang tak putus menanam asa pada pengikutnya saat dikejar Fir’aun sementara di hadapannya terbentang Laut Merah. Dengan “spirit kenabian” yang dimilikinya, maka ia dianggap sangat layak menjadi pemimpin negeri muslim terbesar di dunia ini. Pemikiran seperti yang dilontarkan oleh seorang ustaz di atas, sudah menjadi pemikiran yang jamak di negeri ini. Ukuran keislaman seseorang hanya dinilai dari salat, zakat, puasa dan hajinya. Atau dilihat dari baiknya akhlak semata. Maka seorang yang salatnya rajin, banyak puasa sunnah, akhlaknya mulia, dianggap sebagai seorang yang shalih, agamanya tak bercela. Padahal spirit, atau aspek ruhiyah Islam, hanya satu bagian saja dari pengamalan Islam. Masih banyak aspek lain dari Islam yang juga Allah atur melalui kitab suci-Nya dan sunnah nabi-Nya. Maka spirit saja, masih jauh dari cukup untuk menjadi dasar penilaian agama seseorang.
Ide sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, mulai didengungkan sejak revolusi Perancis tahun 1789. Ide ini muncul karena kemunduran luar biasa yang dialami Barat saat kekuasaaan tertinggi negara dipegang oleh gereja. Dengan memisahkan agama dari kekuasaan, dominasi gereja diakhiri, pemikiran bebas berkembang sehingga Barat mendapatkan kembali posisi yang tinggi dalam kancah perpolitikan dunia.
Karena keberhasilannya membangkitkan Barat, ide sekularisme dianggap sebagai suatu keniscayaan yang harus diterapkan suatu negara yang menginginkan kemajuan. Ide ini terus dijajakan seiring dengan penyebaran kapitalisme di dunia.
Dunia Islam yang sedang mengalami kemunduran karena mulai jauh dari penerapan Islam yang benar, tak luput dari incaran sekularisme. Keinginan untuk kembali bangkit seperti Barat, ditambah dengan rendahnya pemahaman terhadap Islam dan syari’atnya, membawa sebagian muslim menerima dan menerapkan sekularisme dalam kehidupan bernegara. Dengan sekulerisme, Islam dipreteli dari ajaran kaffahnya. Akidah ruhiyahnya diambil sebagai aturan dalam berhubungan dengan Pencipta, sementara akidah politisnya ditinggalkan, bahkan dijauhkan dari benak umat.
Dalam perkembangan berikutnya, Islam dipaksa tunduk kepada pemikiran-pemikiran filsafat Barat seperti perennialisme yang memisahkan antara nilai eksoterik (penampakan luar) dengan nilai isoterik, yaitu spirit dari agama seperti pengakuan kepada eksistensi Pencipta, persamaan hak, keadilan, dan toleransi. Nilai eksoterik dianggap bukan nilai-nilai yang mendasar, bisa diganti dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam seperti pidana, pemerintahan, ekonomi, dan sebagainya, semua dianggap sebagai eksoterik sehingga bisa ditanggalkan. Akibatnya ajaran Islam yang tersisa hanya sekadar spirit saja, itupun dengan rumusan seperti yang diinginkan kaum sekuleris.
Islam adalah agama yang sempurna. Saat diterapkan secara utuh oleh Daulah Khilafah Islamiyah, Islam mengantarkan umatnya pada kejayaan hampir 14 abad. Namun seiring dengan melemahnya pemahaman umat dan gencarnya perang pemikiran yang dilancarkan Barat, umat Islam sedikit demi sedikit mengalami kemunduran, dan puncaknya adalah runtuhnya Daulah Khilafah pada tahun 1924.
Islam mampu menggapai kejayaan 14 abad merupakan hasil dari penerapannya sebagai sebuah mabda’, atau yang lebih kita kenal dengan ideologi. Menurut Muhammad Ismail dalam bukunya Al Fikru Al Islamiy, ideologi (mabda’) merupakan ‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anha an nizham. Artinya; ‘aqidah ‘aqliyyah yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham). Menurut beliau, Islam adalah akidah ruhiyah yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya, sekaligus akidah siyasiyah (politis), yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan manusia lainnya. Kedua aspek ini saling terkait, dan keduanya wajib dijalankan secara utuh dan menyeluruh, atau kaffah dalam istilah Alquran. Allah berfirman dalam QS.Al Baqarah : 208
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesuatu disebut ideologi bila memiliki dua syarat, yaitu memiliki ‘aqidah ‘aqliyyah sebagai fikrah (ide) dan memiliki sistem (aturan) sebagai thariqah (metode penerapan). Bila tidak memiliki kedua hal tersebut, maka tidak bisa dikatakan sebagai ideologi. Sebagai contoh kewajiban zakat adalah fikrah. Bagaimana memastikan agar seluruh muslim yang memiliki kewajiban zakat membayarkan zakatnya adalah thariqah.
Islam menggariskan bahwa orang yang menolak membayar zakat padahal ia mampu, tidak boleh dibiarkan dengan asumsi zakat adalah urusan pribadi dengan tuhannya. Menolak membayar zakat sementara ia paham terhadap kewajibannya, pemerintah harus mengambil zakat orang tersebut secara paksa dan menghukumnya. Sedangkan bila yang menolak adalah sekelompok orang maka wajib diperangi oleh negara. Nabi bersabda,
“Aku diperintahkan agar memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utuan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat (HR Bukhari dan Muslim).
Hal ini berlaku juga pada setiap hukum syara’, selalu digariskan thariqah untuk menjamin hukum tersebut dilaksanakan. Yang memiliki kemampuan untuk menerapkan thariqah adalah negara. Maka keberadaan negara merupakan suatu yang wajib adanya. Bukan sembarang negara, melainkan negara yang menerapkan Islam secara utuh sebagai sebuah mabda’. Negara tersebut adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, orang yang layak untuk memimpin umat ini, bukan hanya sekadar orang yang memiliki spirit keislaman. Tapi harus memiliki komitmen untuk menerapkan Islam secara kaffah dan paripurna. (Tri S).