Oleh : Novi Alfi
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi KSP, Ali Mochtar Ngabalin, mengingatkan semua pihak agar tak sembarangan membawa agama dalam politik. "Jangan ente main-main ketika membawa label Islam dalam dunia politik. Politik itu mulia, politik itu sebuah panggilan jihad," kata Ngabalin dalam diskusi di Posko Relawan Kotak Hijau, Jalan Brawijaya IX, Jakarta Selatan, detiknews, Rabu (27/2/2019).
Pernyataan Ngabalin diatas adalah pernyataan yang tidak tepat. Karena urusan politik juga diatur di dalam Islam. Politik pun dicontohkan oleh Rasulullah dalam sistem Khilafah yang didirikan beliau dan berlangsung selama lebih dari 1300 tahun. Rasulullah sendiri menjadi Kepala Negara pertama dalam Khilafah Islam. Rasulullah dibaiat oleh umat ketika menjadi pemimpin daulah (negara).
Kemudian Rasulullah mengakhiri kepemimpinannya ketika beliau SAW meninggal dunia. Sehingga digantikan oleh Abu Bakar As-Siddiq untuk menjadi kepala negara yang disebut khalifah (pengganti Rasulullah SAW). Setelah Abu Bakar meninggal digantikan oleh para sahabat lainnya yaitu Umar bin Khattab. Begitu seterusnya hingga masa tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan yang terakhir pada masa kekhilafahan Turki Utsmani yang pada akhirnya diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Ataturk Laknatullah bersama orang-orang kafir pada 3 Maret 1924 lalu.
Sehingga tidak benar jika Islam tidak boleh dibawa ke dalam dunia politik. Justru seharusnya Islam diterapkan dalam dunia politik untuk menetralisir kecurangan dan politik kotor lainnya. Karena sistem demokrasi sekuler inilah yang membuat dunia politik menjadi kotor. Banyak kecurangan, korupsi dan banyak kasus lainnya dalam dunia politik demokrasi ini.
Jauh berbeda dengan dunia khilafah yang menerapkan Islam secara keseluruhan. Politik di dalam Islam jauh dari kecurangan, tidak ada korupsi bahkan mencapai keadilan dan kesejahteraan yang tidak didapat di dalam sistem demokrasi sekuler.
Maka sejatinya sistem demokrasi ini adalah salah satu sistem yang batil. Kenapa sistem yang batil? Karena syariat Islam yang telah jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits masih juga dipertanyakan. Buktinya adalah contoh pada minuman keras (miras). Telah jelas Al-Qur’an dan di dalam hadits yang melarang untuk minum khamr (miras). Akan tetapi masih saja dimusyawarahkan oleh DPR dalam membuat Undang-undang. Dan justru malah dilegalkan, walaupun terdapat syarat-syarat tertentu. Padahal jelas Allah SWT melarang minum khamr meskipun setetes. Bukankah hal tersebut menunjukkan demokrasi sama saja telah menentang perintah Allah SWT secara terang-terangan?
Karena seandainya pun dikatakan hal tersebut adalah bagian dari musyawarah, maka itu adalah musyawarah yang salah. Kenapa? Karena musyawarah yang benar adalah musyawarah yang terkait dengan teknis dan tidak terkait dengan larangan dan perintah Allah yang sudah jelas. Karena apapun perintah dan larangan dari Allah seharusnya tidak perlu dimusyawarahkan atau dipertanyakan lagi. Sehingga jelaslah sistem demokrasi ini disebut sistem yang batil.
Oleh karena itu, seharusnya kita kembali pada identitas muslim kita. Menerapkan aturan Islam secara keseluruhan termasuk dalam dunia politik. Insya Allah negeri ini akan jauh dari politik kotor dan mencapai kesejahteraan yang diidamkan oleh seluruh elemen masyarakat.
_Wallahu A’lam_