Oleh : Ummu Qonita
Sontak publik dibuat terkejut dengan gelaran acara Apel Kebangsaan yang dilaksanakan di Simpang Lima Kota Semarang yang menghabiskan dana APBD Rp 18 M. Acara ini dipimpin langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, menampilkan grup Slank dan diikuti tokoh masyarakat, tokoh agama dan ribuan penduduk Jawa Tengah. Sedangkan di wilayah lain terjadi bencana banjir bandang di Sentani Papua(16/3), data terakhir BNPB hingga Senin (18/3) pukul 15.00 WIB mencatat 79 orang tewas, 43 korban belum ditemukan dan lebih dari 4 ribu jiwa terpaksa mengungsi.
Melalui Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah hanya memberikan dana sebesar Rp 1 Miliar untuk rakyat Sentani, Papua. Disaat yang sama acara Apel Kebangsaan di Simpang Lima Semarang yang diadakan PemProv Jawa Tengah menghabiskan dana APBD sebesar Rp 18 Miliar.
Aktivis kemanusiaan Natalius Pigai mengungkapkan keprihatinannya melalui akun Twitter pribadinya "Nalar publik tercederai! Disaat musibah menimpa bangsa saya, tim Jokowi berpesta pora 18 Miliar uang negara, uang rakyat kecil untuk acara musik yang hanya dihadiri 2 ribuan orang" cuitan Natalius Pigai seperti yang dikutip Suara.com (18/3/2019). Pigai pun membandingkan alokasi dana bantuan dari BPBD "Bantuan BPBD hanya Rp 1 Miliar untuk rakyat Sentani Papua, Tuhan jaga bangsa saya" ungkap Natalius Pigai.
Wakil ketua DPR RI melayangkan kritiknya terkait anggaran pelaksanaan Apel Kebangsaan sebesar Rp 18 Miliar karna pada waktu yang bersamaan, dana bantuan yang diberikan Pemerintah Daerah untuk korban banjir bandang Sentani Papua hanya berkisar Rp 1 Miliar. Dalam akun Twitter pribadinya(19/3/2019) Fadli Zon menuliskan " Apel Kebangsaan 18 M, bantuan musibah Sentani 1 M, menjamu IMF 1 T. #rezimsontoloyo"
Siapapun yang menyaksikan fakta ini akan terusik hatinya dan merasa geram. Bagaimana tidak, disatu sisi rakyat Sentani yang sedang ditimpa bencana, BPBD hanya memberikan bantuan dana Rp 1 Miliar sedangkan Apel Kebangsaan yang berisi acara musik dan huru-hara menghamburkan dana APBD Rp 18 Miliar. Ini perbedaan yang sangat jauh. Pemimpin di negeri ini telah kehilangan rasa kemanusiaannya untuk menyelamatkan rakyat yang tertimpa bencana. Mereka lebih memprioritaskan menghamburkan uang yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Yang lebih mereka dahulukan adalah kepentingan pribadi, sibuk copras-capres agar bisa berkuasa lagi. Pemimpin di negeri ini bersikap tidak adil dalam pemberian anggaran. Rakyat pun hanya bisa pasrah dan menerima.
Inilah gambaran pemimpin dalam demokrasi, mereka melalaikan tanggung jawab pemimpin sebagai pemelihara urusan rakyat. Banjir bandang di Sentani akibat lalainya pemimpin negeri ini dalam memberikan lingkungan yang kondusif dan layak bagi penduduk yang tinggal didalamnya.
Berbeda halnya dengan pemimpin dalam Islam ketika menyikapi datangnya bencana yang melanda rakyat dalam Kekhilafahan.
Rosulullah SAW bersabda, " Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR Al Bukhari).
Sejenak, mari kita lihat bagaimana sepak terjang Khalifah dalam menyelesaikan musibah. Pada masa Kekhilafahan Umar bin Khattab terjadi musibah paceklik selama 9 bulan pada bulan Dzulhijjah akhir tahun 18 H. Ketika itu rakyat kesulitan, kekeringan dimana-mana dan rakyat mulai merasakan kelaparan yang amat sangat. Penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah karena desa mereka benar-benar kering kerontang dan tidak ada lagi bahan makanan untuk dimakan.
Mereka pun segera memberitahukan kondisi paceklik ini kepada Umar Ra. Tanpa berlama-lama Umar Ra segera melakukan tindakan dengan membagi-bagikan makanan dan uang dari Baitul Mal. Hingga Baitul Mal menjadi kosong akan persediaan uang dan bahan makanannya. Bukan hanya itu beliau pun rela hanya makan minyak dan cuka saja hingga musibah paceklik ini berlalu sehingga kulitnya berubah menjadi hitam.
Umar Ra pernah berkata, " Akulah sejelek-jelek kepala negara jika aku kenyang sementara rakyatku kelaparan"
Umar Ra pun membuktikan kepeduliannya terhadap rakyatnya dengan melakukan shalat Istisqa (shalat minta hujan).
At-Thabarani rahimahullah meriwayatkan dari Tsumamah bin Abdillah bin Anas Radhiyallahu'anhu, dari Anas Radiyahulllahu 'anhu bahwa Umar Radiyallahu'anhu keluar untuk melaksanakan shalat minta hujan. Beliau keluar bersama Al Abbas Radhiyallahu'anhu, paman Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam dan memintanya berdoa minta turun hujan.
Umar Radhiyallahu'anhu berkata " Ya Allah Azza wa Kalla sesungguhnya apabila kami ditimpa kekeringan sewaktu Rasulullah Shalallahu'alaihi wa salam masih hidup, maka kami meminta kepada-Mu melalui nabi kami, dan sekarang kami meminta kepada -Mu melalui paman Nabi kami Shalallahu'alaihi wa sallam." Al Bukhari juga meriwayatkan kisah ini dari Anas Radiyahulllahu'anhu.
Demikianlah cara Umar Ra dalam menyelesaikan bencana yang menimpa rakyatnya. Pemimpin dalam Islam akan bertindak adil, amanah, bertanggung jawab, peduli, memprioritaskan kepentingan rakyatnya dibandingkan kepentingan pribadinya. Semua itu hanya akan terjadi ketika negara berlandaskan kepada aturan Sang Khaliq yang membuat pemimpinnya dalam berbuat hanya dilandasi pada ridho Allah saja bukan kepentingan pribadinya.
Dengan demikian, tidakkah kita rindu memiliki sosok pemimpin yang bersikap amanah, adil dan lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan pribadinya? Hanya pemimpin dalam Kekhilafahan Islam yang dapat mewujudkan hal itu. Insha Allah.
Wallahu 'alam bisshowab