Indonesia Sejahtera dengan Taqwa, Bukan Sekedar Janji Manis Penguasa

Oleh : Anggun Permatasari (Aktivis Muslimah)


Indonesia laksana zamrud khatulistiwa. Itulah ungkapan mahsyur yang disematkan untuk negeri dengan keanekaragaman hayati ini. Kekayaan alamnya yang melimpah ruah sejatinya membuat manusia yang tinggal di dalamnya menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan bertaqwa. Namun, bisa kita saksikan saat ini. Bukannya menjaga dan mengelola dengan amanah sebagai bukti ketaatan kepada Allah swt., sang Pencipta, justru kerusakanlah yang terjadi dimana-mana seolah masyarakat Indonesia lupa bahwa semua itu merupakan titipan dan harus dipertanggung jawabkan kelak.


Para penguasa yang sejatinya mengemban amanah mengelola alam tersebut lebih sibuk memikirkan tampuk kekuasannya. Dibandingkan dengan amanah yang akan ditanya oleh Allah di yaumul hisab kelak. Seperti saat memasuki musim pemilihan umum yang acara puncaknya akan dilaksanakan di bulan April nanti para pengusung demokrasi sibuk mempromosikan diri dan partai mereka demi mendapat kepercayaan rakyat dan tampuk kekuasaan di lima tahun mendatang. Tak ayal, mereka melontarkan janji-janji manis dan sejuta rayuan agar meraih simpati dari masyarakat demi meraup suara.


Dilansir dari media online kompas.com, calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin ikut berpidato dalam acara Konvensi Rakyat Optimis Indonesia Maju. Dia melanjutkan pidato kebangsaan calon presiden Joko Widodo di Sentul, Minggu (24/2/2019). Dalam pidatonya, Ma'ruf menjelaskan pendapatnya kenapa dia dan Jokowi harus memenangkan Pemilihan Presiden 2019. “Untuk Indonesia maju, kita harus menang. Kita pantas menang karena kita punya modal yang besar," kata Ma'ruf di Sentul International Convention Center, Minggu. Modal yang dimaksud Ma'ruf bukan uang melainkan hasil kerja pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ma'ruf mengatakan, Jokowi-JK sudah meletakkan dasar pembangunan yang kuat.


Pernyataan Ma'ruf Amin tersebut jelas tidak mencerminkan jiwa pemimpin sejati. Apalagi selama ini, beliau dikenal sebagai ulama. Harusnya sebagai ulama beliau memberikan gambaran bagaimana seorang pemimpin yang sesuai alquran dan assunnah yang dulu dicontohkan Nabi Muhammad saw., para sahabat serta khalifah terdahulu yang menjadikan taqwa kepada Allah modal untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat.


Rasulullah saw. bersabda, “Akan datang sesudahku para penguasa yang memerintah kalian. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijak. Namun, setelah turun dari mimbar, mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR ath-Thabrani). Na’udzubillah. Tampaknya apa yang disampaikan Rasulullah tersebut adalah gambaran para penguasa hari ini. Realitas yang terjadi saat ini Indonesia dalam kondisi multikrisis akibat berkhidmat pada sekulerisme dan demokrasi yang merupakan sistem warisan penjajah. Sistem yang merupakan buatan manusia ini membuat masyarakat Indonesia semakin jauh dari aturan Allah swt. Padahal kita tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan muslim terbesar di dunia. 


Carut-marut ekonomi yang kian nyata nampak jelas merupakan buah busuk dari kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme yang dianut. Walaupun data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami titik terendah dalam hal persentase kemiskinan sejak tahun 1999, yakni sebesar 9,82 persen pada Maret 2018. Dengan persentase kemiskinan 9,82 persen, jumlah penduduk miskin atau yang pengeluaran per kapita tiap bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 25,95 juta orang. (kompas.com) 


Jelas sangat kontras dengan kenyataan di lapangan yang justru saat ini rakyat banyak mengeluh bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin sulit. Harga bahan bakar minyak yang terus merangkak naik disusul dengan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya sangat tidak mencerminkan data grafis yang tersaji.


Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk maju ke kancah pemilihan umum dalam sistem demokrasi dibutuhkan modal tak sedikit. Pemilu itu mahal dalam sistem demokrasi. Tak heran ketika para pengusungnya naik ke panggung kekuasaan mereka akan berfikir dan bekerja keras bagaimana modal yang mereka keluarkan saat kampanye bisa kembali ke kantong mereka. 


Kendatipun dalam pidatonya Ma'ruf Amin memperjelas bahwa bukan uang yang dimaksud modal besar melainkan hasil kerja pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Namun sudah menjadi maklumat kita bersama bahwa dalam sistem demokrasi untuk mewujudkan program-program pemerintahan, para penguasa menggandeng para investor demi mendapat kucuran dana. Ini jelas semakin menggambarkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme dan demokrasilah yang menjadi tersangka utama sebagai penyebab kesusahan rakyat saat ini. Dan sangat nyata, kerusakan tidak hanya terjadi di ranah ekonomi dan politik saja tapi juga di ranah pendidikan, ketatanegaraan, dan merata sampai ke tatanan keluarga. 


Idealnya, kondisi yang dialami masyarakat saat ini harusnya bisa membuka mata para penguasa untuk segera berbenah dan bermuhasabah diri untuk kembali kepada aturan yang seharusnya mereka gunakan sebagai acuan dalam memimpin, yaitu aturan yang sesuai alquran dan assunah buatan Allah swt., sang Pemilik hidup. Karena sejatinya Indonesia hanya akan maju dan bangkit dengan kembali pada jati dirinya sebagai umat Islam dan menerapkan hukum-hukum islam. Islam sebagai ideologilah modal besar kita. Bukan dengan mempertahankan sistem rusak warisan penjajah yang menjadi alat pemilik modal besar untuk menguasai harta milik rakyat. 


Dalam surat Al-araf ayat 96 Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Wallahualam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak