Oleh: Dewi Putri Handayani, S.Pd
(Member Penulis Ideologis)
Kunjungan Putra Mahkota Muhammad bin Salman Ke Cina pada Jum’at (22/02/2019) menambah kemesraan diantara keduanya. Bagaimana tidak, pertemuan Putra Mahkota dengan wakil perdana menteri, menteri pertahanan dan seorang delegasi senior Cina berencana memasukkan bahasa Cina kedalam kurikulum pada semua tingkat pendidikan di Arab Saudi.
Badan Pers Saudi (SPA) menyatakan “Pengenalan bahasa Cina ke dalam kurikulum Saudi adalah langkah penting untuk membuka cakrawala akademik baru bagi siswa di berbagai tingkat pendidikan di Arab Saudi”. (Kiblat.Net)
Tidak hanya itu, dimasukkannya bahasa Cina kedalam kurikulum Saudi juga akan menjadi jembatan antara Arab Saudi dengan Cina untuk mempromosikan hubungan perdagangan dan budaya.
Sesungguhnya Putra Mahkota Muhammad bin Salman bukanlah pemimpin Arab Saudi pertama yang melakukan kunjungan ke Cina. Jauh sebelumnya yakni pada Januari 2006, Raja Abdullah sudah terlebih dahulu mengunjungi Cina. Ia diterima Presiden Cina Hu Jintao. Raja Abdullah menjadi kepala negara pertama dari Arab Saudi yang mengunjungi Cina, setelah meresmikan hubungan diplomatik pada 1990. Dalam kunjungan ini dihasilkan lima perjanjian besar pada kerja sama energi. Kunjungan itu juga digunakan untuk membahas soal perdagangan dan perpajakan. (Tirto.id).
Arab Saudi sesungguhnya tengah mengalami masalah ekonomi dalam negeri. Berbagai program yang dijalankan untuk membangkitkan ekonomi belum jua menampakkan hasil yang signifikan. Hingga akhirnya Muhammad Bin Salman melakukan perjanjian kerjasama dengan Cina.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mantan Duta Besar Cina untuk Arab Saudi, Song Wei, dimana kedua negara tersebut saling membutuhkan kerja sama. "Arab Saudi membutuhkan pasar yang stabil dan Cina membutuhkan pasokan yang stabil," ujar Song Wei. (tirto.id).
Keputusan Arab Saudi untuk melakukan kerjasama ekonomi serta memasukkan bahasa Cina kedalam kurikulum pendidikan Saudi telah membutakan mata hati Putra Mahkota Muhammad bin Salman sebagai seorang muslim. Pasalnya Muhammad bin Salman mendukung pembangunan Kamp Konsentrasi untuk Muslim Uighur. Dia mengatakan bahwa tindakan Cina itu dapat dibenarkan.
“Cina memiliki hak untuk melakukan pekerjaan anti-terorisme dan ekstremisme untuk keamanan nasionalnya,” kata Bin Salman, yang telah berada di China menandatangani banyak kesepakatan. (Kiblat.Net)
Pernyataan ini sunguh menyayat hati umat muslim. Bagaimana mungkin seorang pemimpin negeri muslim menjalin hubungan mesra dengan pihak yang notabene tangannya masih berlumuran darah saudara se-akidahnya. Pernyataan ini juga secara tidak langsung telah menyatakan bentuk pengkhianatan atas genosida massal yang dilakukan pemerintah Cina atas Muslim Uyghur. Hal ini juga seolah menegaskan matinya sense of humanity pihak kerajaan Arab Saudi yang selama ini digadang-gadang berjasa besar atas umat Islam.
Sungguh, kaum muslimin mengalami kemerosotan yang teramat memilukan. Ikatan akidah telah hilang, diganti dengan ikatan nasionalisme. Nasionalisme menjadi sekat penghalang pemersatu umat. Akibat nasionalisme, umat islam tidak mampu lagi membedakan mana kawan mana lawan. Sehingga, ketika suatu negeri muslim merasakan sakit, negeri muslim lainnya hanya diam tanpa peduli. Mereka bergerak semata hanya untuk kepentingan Negara masing-masing.
Padahal umat islam bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya sakit maka bagian tubuh lainnya akan ikut merasakan sakit. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“orang orang beriman itu seperti satu tubuh, jika matanya sakit, seluruh tubuhnya terasa sakit, dan jika kepalanya sakit seluruh tubuhnya terasa sakit” (HR.Muslim)
Sungguh, dunia butuh khilafah yang akan menjaga darah dan kehormatan umat islam dihadapan musuh, yang dengannya kaum muslimin akan bersatu. Yang dengannya Islam Rahmatan Lil ‘Alamin akan tercipta.
Wallahua’lam Bishawwab.