Oleh : Nuraisah Hasibuan S.S (Pemerhati sosial)
Aksi terorisme pada 15 Maret 2019 membuat dunia berduka. Sebanyak 49 orang jamaah sholat Jum’at di masjid Al Noor dan masjid Lindwood, Christchurch-New Zealand, dibredel dengan timah panas oleh seorang warga Australia bernama Brenton Tarrant (28). Aksi kejinya ini dilakukan bersama tiga orang lainnya dan direkamnya secara live.
Ini bukan aksi tiba-tiba. Tarrant dan rekan-rekannya telah merencanakan serangan ini sejak enam bulan sebelum kejadian, dan pada tiga bulan terakhir mereka menargetkan masjid di Christchurch.
Ada dua motivasi yang paling disoroti dari aksi Brenton ini. Pertama adalah masalah fanatisme agama. Ini sangat jelas dengan melihat jamaah masjid sebagai sasaran kebiadabannya. Ditambah lagi dari pengakuan seorang korban berwarga negara Indonesia yang selamat. Ia menyebutkan bahwa Brenton menembaki sambil terus mengumpati para korban dan agama mereka. Ia menampakkan dendamnya yang sangat besar pada agama Islam.
Kedua, latar belakang penembakan adalah rasisme. Brenton merupakan seorang penganut paham White Supremacy yang sangat meyakini keunggulan orang kulit putih melebihi bangsa-bangsa selain mereka. Ini diperkuat oleh pernyataannya dalam manifestonya sebelum penembakan, sebagaimana dikutip dari Daily Mail. Di sana Brenton menyerukan kematian bagi sejumlah pemimpin dunia. Termasuk dua di antaranya adalah Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan. Pada saat yang bersamaan, ia mengaku mendukung Presiden AS Donald Trump sebagai simbol identitas kulit putih yang baru.
Sekilas, alasan rasial ini mungkin sangat klise dan terlalu remeh untuk tindakannya yang teramat brutal. Namun rasisme yang memiliki sejarah panjang dan kelam tak bisa dipungkiri telah menancapkan doktrin kuat pada para penganutnya. Doktrin bahwa kemajuan dan peradaban hanya akan dicapai negara jika penduduknya hanya terdiri dari kulit putih yang unggul.
Doktrin yang mengakar ini, pada masa lalu telah menciptakan manusia-manusia kulit putih yang sadis. Lihatlah di Amerika, sebagai negara dengan tingkat rasisme paling tinggi, jutaan warga kulit hitam diperbudak, digantung, dibakar dan disiksa dengan cara-cara yang sangat keji. Bahkan ketika rasisme telah berakhir di sana secara legal pada tahun 1964, pada praktiknya antara warga kulit berwarna dan warga kulit putih tetap diperlakukan berbeda. Itu berlaku hingga kini. Sebut saja dalam hal pemisahan toilet, penerimaan kerja, perlakuan hukum, dan lain-lainnya.
Pengaruh paham rasisme kemudian menyebar ke seluruh dunia. Doktrin-doktrin tentang ras kulit putih yang unggul dan darah mereka yang murni terlanjur mengakar di benak para penganutnya termasuk pada seorang Brenton Tarrant.
Sungguh, ikatan rasial dan ikatan-ikatan serupa ini berwajah sangat buruk. Asas berdirinya buruk, demikian pula aksi-aksinya dan tujuannya. Itulah sebabnya, dalam Islam tidak ada tempat bagi ikatan-ikatan yang hanya mengandalkan semangat dan kelompok. Satu-satunya semangat yang sohih hanyalah semangat untuk menyatukan ummat.
Sejarah adalah pelajaran yang sangat berharga bagi orang-orang yang mau memikirkan. Dengan melihat kelamnya kisah manusia di berbagai belahan dunia akibat pertikaian agama dan rasisme, pemerintah dan seluruh warga negara harus lebih serius menangani kedua isu ini. Tidak cukup hanya menghilangkan rasisme dan fanatisme agama dalam bentuk tertulis seperti yang dilakukan Marthin Luther King di Amerika. Sebab cara itu terbukti tidak efektif.
Yang lebih penting adalah adanya kontrol dan edukasi yang terus menerus pada masyarakat, bahwa semua manusia sama di hadapan Allah SWT dan yang membedakan hanya ketakwaannya. Serta tentunya diberlakukannya hukum yang adil dan tegas bagi para pelanggar hukum yang mengatasnamakan agama dan ras. Dan sebaik baik hukum adalah hukum syariah. Kalaulah hukuman bagi penghilang nyawa hanya sekian belas tahun penjara, jangan harap tidak akan tumbuh Brenton-Brenton lainnya.