Oleh: Febri Ayu Irawati
(Siswi SMA Negeri di Kabupaten Konawe)
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dikritik habis-habisan oleh media ekonomi dari Inggris, The Economist. Kritik tersebut menekankan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor (Detik.com, (25/01/2019).
Bukan hanya itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga acuan dan infrastruktur juga menjadi poin yang dikritik oleh majalah ekonomi asal Inggris tersebu (Detik.com, 26/01/2019).
Masalah ekonomi di tanah air selalu menjadi masalah yang tidak ada habis-habisnya dibahas. Dari analisis The Economist tentang kebijakan pemerintah Jokowi di bidang ekonomi menjadi penguat fakta bahwa rezim neolib memang telah gagal membawa rakyat Indonesia menuju masyarakat sejahtera. Sekalipun ada rekomendasi-rekomendasi solusi atas kritik itu. Hal ini dikarenakan menurunnya daya beli masyarakat sejak beberapa tahun belakang hingga saat ini.
Sumber pendapatan negara pun berkurang saat aset dan kekayaan negara banyak dikuasai asing, membuat sumber pendapatan negara berkurang. Sehingga pembangunan dan pelayanan bersumber dari utang dan investasi. Berubahlah infrastruktur dan pelayanan menjadi sangat mahal. Sedangkan pendapatan masyarakat tetap. Alhasil masyarakat akan lebih berfokus kepada pendidikan dan kesehatan, membuat masyarakat tidak belanja atau menghemat barang-barang kebutuhan.
Di sisi lain, kebijakan impor mempengaruhi produksi, dan industri menjadi berhenti. Banyak hasil pertanian digeser dengan impor. Menyebabkan pendapatan masyarakat anjlok. Sedangkan kalangan ekonomi menengah lebih tergiur dengan bujukan investasi, mebuat jual beli di tanah air tersendat. Membuat banyak pedagang bangkrut, menyisakan tambahan penganggaran.
Dari fakta yang ada, telah nampak jelas akar masalah dari semua problem saat ini adalah diterapkanya sistem kapitalisme, yang menjadikan kepentingan pribadi menjadi nomor satu dan kepuasan pribadi menjadi tujuan hidup. Hanya orang-orang pemilik modal saja yang dapat bertahan hidup di dalam sistem ini. Sampai pendidikan bahkan kesehatan pun harus dibayar dengan harga yang cukup besar.
Perbedaan mencolok sangat terlihat, pada masa sistem pemerintahan Islam ketika menguasai dunia selama 13 abad bahkan banyak fasilitas yang diberikan oleh negara secara gratis seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan bagai masyarakatnya. Hal itu dikarenakan dalam sistem Islam negara mengoptimalkan anugrah dari Allah SWT berupa kekayaan alam, dan mengelolanya dengan cara yang benar. Sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat dengan memberikan fasilitas secara gratis untuk menunjang kesejahteraan mereka.
Untuk itu, negara ini tentu perlu sebuah revolusi kebijakan yang mengembalikan harta rakyat, menjunjung tinggi kesejahtraan rakyat, dan mengembalikan mata uang yang dipegang masyarakat bernilai tinggi dan stabil.
Dari adanya sejarah Islam tersebut dan fakta dimana sistem saat ini yang tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua untuk kembali menegakkan syariat Allah di atas muka bumi ini. Agar keadilan dan kesejahteraan yang kita damba-dambakan selama ini dapat terwujud.opi
Sehingga penting menyadarkan umat, bahwa kesejahteraan tidak mungkin diwujudkan jika tetap mengukuhi sistem yang menjadi akar masalahnya, yakni sistem kapitalisme neoliberal yang tegak diatas asas sekulerisme dan pilar-pilar rapuh seperti prinsip libralisasi ekonomi, ekonomi non ril, investasi asing, dan sebagainya. Wallahu a’lam bish showab.