Darurat Perkawinan Anak

Oleh: Chezo


Belakangan ini, ramai dibicarakan terkait dengan adanya revisi UU Perkawinan. Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan, Indry Oktaviani mengatakan pihaknya meminta DPR segera mengusulkan revisi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). 


"Kami berharap sebelum pergantian anggota DPR, revisi undang-undang ini sudah selesai dibahas. Apalagi, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) harus jadi prioritas," kata Indry di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta Pusat, Jumat (8/3) (m.cnnindonesia.com/15/03/2019)


Pembahasan dan revisi undang-undang tersebut menjadi keharusan karena merupakan mandat putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Pasal 7 Ayat (1) UU tentang Perkawinan.


Hasil uji materi tersebut menunjukan pasal 7 bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak. Batas usia perkawinan dalam UU itu disebutkan bagi laki-laki 19 tahun, bagi perempuan 16 tahun.


Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, para penggugat menilai batas usia itu melanggengkan perkawinan dini. 


KPAI mencatat pada 2018, ada sebanyak 4.885 aduan masyarakat soal kasus pelanggaran hak anak. Perkawinan usia anak di Indonesia sudah masuk pada fase darurat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016-2017, Indonesia adalah negara yang mempunyai prevalensi perkawinan usia anak tertinggi di wilayah Asia Timur dan Pasifik.


Rata-rata 25% dari perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Bahkan beberapa Provinsi angka perkawinan usia anak mencapai lebih dari 30%, salah satunya Sulawesi Barat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Australia Indonesia Partnership for Juctice (AIPJ 2) pada tahun 2019, ditemukan fakta bahwa terdapat 12.000 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan ke Pengadilan setiap tahunnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini Indonesia sudah masuk dalam kondisi 'Darurat Perkawinan Anak'. 


Berikut 4 rekomendasi KPAI untuk menekan pernikahan anak:


1. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia perlu segera menindaklanjuti amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 22 / PUU-XV / 2017, sehingga revisi pasal 7 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat segera dilakukan.


2. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam hal ini Komisi VIII DPR RI perlu mendesak dan memanggil Kementerian terkait untuk mempercepat proses dan tahapan revisi pasal ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.


3. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial dan BKKBN perlu meningkatkan kualitas koordinasi dan kualitas program untuk pencegahan perkawinan usia anak di Indonesia.


4. Pemerintah Daerah, Gubernur, Bupati dan Wali Kota perlu melahirkan kebijakan dan program nyata untuk pencegahan perkawinan usia anak, terutama Provinsi dan Kab/Kota yang prevalensi perkawinan usia anaknya tinggi. (m.detik.com/15/03/2019)


/Pernikahan Dini Dalam Pandangan Islam/


Wacana seputar isu pernikahan anak memang membuat kita bertanya-tanya apakah Islam sebagai agama yang sempurna aturannya juga memuat jawaban atas permasalahan tersebut.


Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah dimana seorang lelaki dan juga perempuan melakukan akad yang bertujuan untuk mendapatkan kehidupan sakinah (tenang dan damai), mawaddah (saling mencintai dengan penuh kasih sayang) dan warahmah (kehidupan yang dirahmati Allah Subhanallahu wa Ta’ala) Tujuan utama dari sebuah pernikahan adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sehingga dasar hukum Islam dari sebuah pernikahan bisa dikatakan sunnah, wajib atau bahkan mubah.


Sementara pernikahan dini merupakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang dilakukan saat kedua belah pihak masih berusia dibawah 18 tahun atau masih dalam sekolah menengah yang sudah akil baliqh. Pernikahan disebut dengan pernikahan dini jika kedua belah pihak atau salah satu orang masih berusia dibawah 18 tahun. Islam sendiri merupakan agama yang sesuai dengan tabiat manusia sehingga sangat jelas jika kesucian dan juga kebersihan seksual akan mengembalikan kita ke dalam ajaran ajaran Islam.


Fenomena menikah dini sebenarnya telah meluas di berbagai daerah di negeri ini. Namun melihat latar belakang para remaja menikah dini yang sebagian besar karena faktor hamil dulu maka hal ini yang harus kita cermati. Jangan sampai kita memberikan solusi yang tidak menyentuh pada akar permasalahan. Menolak pernikahan dini dengan alasan akan menimbulkan dampak buruk pada pasangan muda baik secara fisik maupun psikis mungkin ada benarnya meskipun tidak seratus persen benar semua. 


Dampak psikis juga berkaitan dengan sistem pendidikan yang ada. Seandainya sistem pendidikan yang ada saat ini bisa mencetak dan menyiapkan generasi yang matang dan berkualitas di usia yang masih muda maka meski mereka ingin menikah di usia dini pun tidak akan menimbulkan dampak yang berarti. Sehingga dari sini sebenarnya persoalan utamanya bukan pernikahan dini itu sendiri melainkan latar belakang para remaja melakukan pernikahan dini, di mana faktor telah hamil duluan menjadi “tren” saat ini.


Lantas, apakah kita akan terus membiarkan mereka melakukan kemaksiatan zina paling tidak sampai mereka bisa menikah secara legal ketika sudah cukup umur 18 tahun? Menolak pernikahan dini namun tanpa menyelesaikan akar persoalan ini akan sia-sia saja. Fenomena ini akan terus terjadi tanpa bisa dicegah.


Islam sebagai sebuah sistem kehidupan memiliki seperangkat aturan yang solutif untuk mengatasi persoalan ini. Naluri seksual adalah salah satu naluri yang diberikan Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan menyatu dengan proses penciptaan manusia. Semua manusia dianugerahi naluri ini. Karenanya, Allah Azza Wa Jalla telah memberikan paket aturan untuk mengelola naluri ini supaya kemunculannya pada waktu dan tempat yang tepat dan penyalurannya berada dalam koridor hukum syara’. 


Beberapa aturan tersebut di antaranya adalah: pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (infishol), keduanya hanya boleh berinteraksi dalam perkara yang dibolehkan syara’ seperti jual beli, ijarah, dan perwakilan, berikutnya keharaman khalwat, laki-laki dan perempuan tidak boleh berdua-duaan kecuali disertai mahramnya, penentuan batas aurat laki-laki dan perempuan, perintah menundukkan pandangan adalah menahan pandangan dari apa yang diharamkan dan membatasi pandangan kepada apa yang dihalalkan saja. 


Khatimah


Paket aturan tersebut merupakan upaya penjagaan dan pencegahan terjadinya penyaluran naluri seks dengan cara yang diharamkan seperti perkosaan, perzinahan, dan penyimpangan seks (lesbian, homoseks, dll). Maka hanya sistem Islam sajalah yang mampu menyelesaikan semua persoalan manusia secara tuntas tanpa menuai masalah. Sayangnya ini hanya bisa dilaksanakan apabila sistem yang agung ini diterapkan secara manyeluruh di dalam kehidupan dalam naungan negara Khilafah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak