Oleh: Eva Liana
Desau angin panas menyapu muka Irah yang berminyak. Sinar surya tengah hari bolong memanggang tubuhnya tanpa ampun. Kerudung dan gamis lusuhnya telah lembab oleh keringat. Dan kini, ditambah dengan basahnya pangkuan oleh buliran airmata.
Bocah perempuan kurus berambut jagung, tampak menarik-narik ujung kerudungnya seraya merengek lemah. Energinya sudah habis untuk menangis kencang. Sesekali ia menyapu ingus di hidung dengan tangan. Matanya cekung, tanpa airmata lagi. Agaknya sudah menguap oleh sinar garang matahari. Atau bisa jadi airmata itu telah terkuras habis oleh kepahitan hidup yang terlalu dini untuk disandang.
Hening menyesak. Kristal bening bergulir dari sudut mata Irah, jatuh ke pangkuan. Dadanya nyeri menahan isak. Tenggorokan rasa tercekik. Sorot matanya redup, menatap putri kecilnya yang merajuk. Tak sanggup lagi mengurai bujuk. Ia hanya mampu mengulur lengannya. Lunglai memeluk balita itu, mengirim pilu yang sama.
Dua hari. Ya, dua hari sudah ia dan putrinya duduk menunggui tumpukan sapu lidi di trotoar jalan depan pasar Los Batu Kandangan ini. Berharap moga segera tergantikan dengan sesuap nasi. Namun jumlah tumpukannya tak kunjung berubah sejak kemarin hingga tengah hari ini. Tak seorang pun melirik atau singgah, apatah sekedar menanyakan harga.
Batang-batang lidi itu kian kering terbakar matahari. Sekering hatinya.
Dua hari. Ya, dua hari bukan waktu yang singkat untuk menahan lapar bagi manusia normal. Apalagi anak berusia empat tahun yang sedang di puncak emas perkembangannya. Sebagai ibu yang patuh pada fitrahnya, mana tega Irah membiarkan anaknya menangis sampai hampir kejang kelaparan?
Tapi apa mau dikata? Mengandalkan hidup hanya dengan berdagang sapu lidi, di tengah persaingan global saat ini, harus siap terima nasib. Pedagang sapu lidi bukan hanya satu. Kualitasnya pun beragam plus variasi modelnya. Mana mampu ia bersaing tanpa modal?
Wajahnya semakin kuyu dan tubuhnya layu seiring dengan melemahnya tarikan putrinya. Makan terakhir mereka yang cuma sekali sehari adalah dua hari yang lalu. Padahal kalau mau, bisa saja Irah mengemis, seperti tetangganya, si Ijum di kampung Pulau Negara. Ijum malah makan lengkap tiga kali sehari dan hidup lebih makmur hanya dari hasil mengemis.
Tapi Irah pantang mengandalkan hidup dengan meminta-minta. Almarhum suaminya senantiasa berpesan agar Irah selalu menjaga kehormatan dan harga diri. Suaminya yang rutin menghadiri majelis Tuan Guru Riduan di Kapuh itu, sangat rajin sembahyang dan mengaji. Banyak petuah Tuan Guru yang disampaikan suami kepadanya. Salah satunya adalah pantangan meminta-minta.
Airmata deras menghujan di pipi Irah kala terkenang kebaikan almarhum suami. Sahabat sehati yang meninggalkannya setahun lalu, oleh kondisi tetanus. Akibat tertusuk paku berkarat saat mengambil upah bangunan.
"Bu ...!"
Satu teguran, menyentakkan Irah dari lamunan. Tercengang Irah saat matanya tertumbuk pada sesosok perempuan muda berkerudung dan gamis elegan.
"Kondisi anak ibu kelihatannya tidak sehat ...," suara perempuan muda itu lembut penuh kekhawatiran.
Irah terkejut. Segera memperhatikan putrinya. Tangan bocah itu sudah berhenti menariki kerudungnya. Tak ada lagi tangis rewel. Matanya terpejam, tenang, tanpa senyum.
Tangan Irah gemetar. Pias. Mengguncang bahu putrinya yang telah lunglai.
Perempuan muda di depannya refleks mengulur tangan tanpa permisi lagi. Memeriksa denyut nadi si bocah.
"Lemah sekali, Bu. Harus segera ke rumah sakit!"
Demi mendengar kata rumah sakit, lutut Irah malah semakin lemas. Terbayang lembaran rupiah yang tak sanggup dijangkaunya untuk biaya. Suaminya dulu pun tak tertolong karena masalah yang satu ini.
"Ya Allah Ya Rabb ... ujian ini sungguh tak tertanggungkan. Berilah hamba-Mu ini kemampuan tuk bertahan," lirihnya.
"Bu, saya dokter," lunak suara si perempuan muda, paham. "Jangan khawatir soal biaya. Yang penting anak Ibu selamat. Ayo, cepat, Bu. Gendong anaknya!"
Kalimat itu seolah terdengar dari alam mimpi. Irah terpana sejenak. Baru sadar saat bahunya ditepuk ringan. Tangisnya meledak dalam ratapan, menyadari kondisi kritis putrinya.
***
"Alhamdulillaah, putri Ibu sudah pulih dan segar ..." Dokter Raina tersenyum, memandang balita yang makan rakus di bed ruang anak rumah sakit Kandangan.
"Iya, Bu ... Alhamdulillah." Sepasang mata Irah berkaca-kaca. Putrinya sudah tiga hari dirawat inap. Pipinya mulai montok dan matanya jernih. Dada Irah membuncah bahagia. "Syukur ketemu Bu Dokter," ucap pedagang sapu lidi ini, sederhana.
"Iya, Bu. Tak disangka. Sebenarnya saya jarang ke pasar. Waktu itu terpaksa belanja sendiri, karena pembantu tiba-tiba minta berhenti kerja. Dia dapat iming-iming jadi TKW. Sudah saya bujuk, tetap ngotot mau pergi. Pengen cari pengalaman baru katanya," tutur Dokter Raina. "Padahal saya sangat perlu ada yang bantu-bantu di rumah. Maklum, meski belum nikah, saya kerja sambil ngurus mama yang sakit-sakitan."
Irah yang lugu hanya manggut-manggut.
"Oh, ya," Dokter Raina tiba-tiba antusias, "bagaimana kalau Ibu membantu pekerjaan saya di rumah? Sekalian tinggal saja bersama anak Ibu di rumah saya. Nanti akan saya gaji, Bu."
Airmata Irah mendadak seperti keran bocor. Tumpah begitu saja. Tanpa kata, ia menyalami dan mencium tangan ibu dokter. Haru bahagia bercampur-campur.
Ya Allah, ternyata masih ada orang baik di tengah kebanyakan masyarakat yang tak acuh ini. Bisik hati Irah penuh syukur.
***