Oleh: Nursiyati, A.Md.Kom.
(Praktisi Pendidikan)
Sebanyak 70 orang menjadi korban jiwa dalam bencana banjir bandang di Sentani, Jayapura. Sementara, 43 orang lainnya mengalami luka-luka. Kepala Penerangan Daerah Militer XVII Cenderawasih Kol Inf Muhamad Aidi memprediksi jumlah korban masih akan terus bertambah. "Karena banyaknya warga yang melaporkan kehilangan kerabat mereka," ujarnya, seperti dilansir Antara, Minggu (17/3). Selain korban jiwa, banjir bandang Sentani juga memaksa lebih dari 1.500 orang mengungsi. Pengungsi itu tersebar di beberapa lokasi terdampak banjir. (cnnindonesia.com,2019/03/17).
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan ada dua faktor utama penyebab banjir bandang di Sentani ini yaitu, faktor alam, di mana selama tujuh jam telah turun hujan deras sebanyak 248,8 mm – padahal biasanya jumlah ini rata-rata turun dalam kurun waktu sebulan. Faktor lainnya adalah kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia. Kerusakan di Pegunungan Cycloop, kata Sutopo, sudah berlangsung sejak tahun 2003, dimana banyak daerah resapan air dijadikan area pemukiman.
Hal ini diperparah dengan maraknya penebangan pohon untuk pembukaan lahan baru dan lain-lain.
“Jadi penyebabnya ada dua, kombinasi antara faktor alam dan faktor ulah manusia. Kita melihat kerusakan hutan di pegunungan cyclopp, ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2003, rambahan cagar alam oleh 43.230 jiwa atau 753kk sejak 2003. Kemudian juga ada penggunaan lahan pemukiman, dan pertanian lahan kering campur di das sentani seluas 2.415 ha, kemudian masih terjadi penebangan pohon, baik itu untuk pembukaan lahan, perumahan maupun untuk kebutuhan kayu juga penambangan galian C. 9 wilayah kelurahan yang terdampak banjir merupakan dataran alur hijau, yang terbantuk dari bagian atas, yang secara alamiah adalah daerah rawan banjir,” jelas Sutopo. (voaindonesia.com/18/03/2019).
Melihat hal tersebut dapat kita pastikan bahwa pembangunan infrastruktur yang terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalisme yang nota bene berkiblat pada kepentingan materi semata dan tanpa memperhatikan keseimbangan alam dan merusak lingkungan dan berkongsi dengan para kapitalis untuk membangun infrastruktur dengan menebang pohon yang harusnya di fungsikan untuk meresap air hujan dan nantinya akan membuahkan bencana seperti yang terjadi pada saat sekarang.
Hal ini tidak hanya terjadi pada daerah di ujung Indonesia tetapi pada daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan Indonesia, secara langsung pemerintah dengan sengaja mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum dan malah memperturutkan keinginan dari para segelintir kapitalis.
Jadi jika mempermasalahkan hujan yang turun deras dan berlangsung selama berhari-hari sama saja halnya kita menyalahkan Allah SWT, sang pencipta manusia padahal hal ini terjadi karena kesalahan manusia itu sendiri seperti yang tercantum dalam Al Qur’an dalam surat Ar Rum ayat 41 yang berbunyi
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akhirat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar Rum: 41).
Persoalan banjir wilayah manapun di Indonesia, akan terus terjadi bila penguasa tidak memiliki kemauan politik mengurus kepentingan publik dan terus berpegang dengan hukum buatan manusia, yaitu kapitalisme yang eksploitatif tak mampu mengentaskan permasalahan banjir.
Berbeda dengan Sistem Islam yang terdepan dalam membangun infrakstruktur dengan memperhatikan keseimbangan alam dengan cara menempatkan kepentingan, menjaga alam di atas segalanya dalam membangun infrastruktur dan dalam Islam pun, jika perang sekalipun tidak boleh merusak pepohonan. Seperti yang tertera dalam surat Al Mulk ayat 30 “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?”. (QS Al Mulk:30).
Seharusnya sudah saatnya kita membuka mata hati dan pikiran bahwa Islam bukan hanya sebagai agama mengatur ibadah ritual semata tetapi sebagai ideologi yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa dan mempunyai solusi yang bisa mengatasi banjir dan genangan. Islam dalam naungan negara yaitu Khilafah tentu memiliki kebijakan efektif dan efisien.
Wallahu’alam bishowab.