Ayat Allah Dipersoalkan, Umat Butuh Khilafah Untuk Meluruskan


Oleh : Ummu Hanif (Gresik)


Pro kontra istilah kafir masih terus berlangsung di berbagai diskusi, baik online maupun offline. Kondisi ini berawal dari kabar tentang hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang menyarankan agar Warga Negara Indonesia yang beragama non-Muslim tak lagi disebut sebagai kafir. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Sebagai penggantinya, digunakan kata muwathinun atau warga negara.


Beberapa Ulama Nasional kontan bereaksi. Sebut saja Ustadz Bachtiar Nasir (UBN), Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dann juga Pimpinan AQL Islamic Center, dalam khutbahnya di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (1/3/2019), menjelaskan bahwa istilah kafir adalah perbendaharaan kata yang dipilihkan langsung oleh Allah, dan umat islam tidak punya pilihan lain untuk tidak menggunakan istilah tersebut.


Demikian juga, Ulama NU Jawa Timur, KH. Luthfi Basori menegaskan bahwa sikap teologis PBNU yang menyarankan untuk tidak menyebut non-muslim sebagai kafir adalah sikap yang bertentangan dengan syariat Islam. Ia pun menyatakan diri menolak keputusan NU tersebut. (www.Kiblat.net, Jumat (01/03/2019).



Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015, Din syamsuddin, menyatakan bahwa istilah kafir perlu dipahami secara menyeluruh, karena pemakaian istilah seperti itu bukan hanya ada di Islam tapi juga agama yang lain.



Ia menjelaskan, dalam Islam sendiri istilah kafir banyak disebut dalam Al Qur’an dan ada surat yang secara spesifik nama dan dalam kandungan surat tersebut menerangkan tentang Istilah kafir. (www.Muhammadiyah.or.id, (2/3/2019))



Kalau kita mau menelaah Al qur’an, sebenarnya kata kafir beserta derivasinya sangat banyak disebut dalam al-Quran dan al-Sunnah. Bahkan ada satu surat yang diberi nama al-Kâfirûn. Dalam surat ini pun terdapat petunjuk yang sangat jelas tentang siapa yang termasuk dalam katagori sebagai orang-orang kafir.



Oleh karena itu, tidak ada keraguan sama sekali bahwa semua orang yang tidak memeluk Islam adalah kafir. Bahkan orang yang tidak mengakui kekufuran mereka atau meragukan kekufuran mereka pun dinyatakan telah kafir. Imam al-Nawawi berkata:


وَأَنَّ مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى، أَوْ شَكَّ فِي تَكْفِيرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ، فَهُوَ كَافِرٌ، وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ الْإِسْلَامَ وَاعْتَقَدَهُ


Dan sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan pemeluk agama selain Islam seperti Nasrani, ragu dalam mengkafirkan mereka, atau membenarkan madzhab mereka, maka dia kafir meskipun pada saat itu dia menampakkan keislaman dan meyakininya (al-Nawawi, Rawdhat al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, III/, 127).



Adapun kata “kafir” adalah salah satu istilah yang kita pergunakan. Tidak perlu memaksakan untuk menghilangkannya. Seperti kata “miskin”, meski ada makna berlawanan dengan “kaya, namun, tidak perlu juga mengganti kata “miskin” dengan kata “non kaya”.



Kalau kita cermati, semua ini adalah bagian dari upaya - upaya kaum liberal untuk merusak Islam. Modus mereka biasanya menyusup ke dalam ormas – ormas islam, agar keberadaan mereka seakan menyampaiakan pendapat yang islami. Dan kondisi  akan terus terjadi sepanjang rezim sekuler dan sistem pemerintahan demokrasi berkuasa di tengah umat. 


Demikianlah sesungguhnya urgensi khilafah ada saat ini. Karena khilafahlah yang akan mendidik umat dan akan terus melindungi islam dari upaya – upaya perusakan baik aqidah maupun hukumnya. Kita bisa pahami, dengan hilangnya frase “kafir”, maka syarat pemimpin yang tidak boleh “kafir” pun akan hilang dengan sendirinya. Dan pada akhirnya satu per satu hukum islam akan dikebiri. 

Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak