AVTUR ATAUKAH AKTIVIS NEOLIBERAL ?


Oleh : Uqie Naima

(Penulis Bela Islam, “Dengan Dakwah, Lanjutkan Kehidupan Islam”)


Jenazah Renti Tanta warga Tedeboe, Rampi, Sulawesi Selatan di gotong menggunakan tandu sejauh 60 km menjadi  berita yang cukup menyita perhatian publik terutama pengguna medsos. Peristiwa memilukan ini terjadi  di daerah Rampi, Luwu Utara, yang terbilang masih terisolir karena belum adanya infrastruktur jalan. 

Renti meninggal dunia di RSUD Andi Djemma Masamba pada Kamis, 7 Februari 2019. Awalnya, keluarga ingin membawa jenazah menggunakan pesawat perintis dari Bandara Andi Djemma Masamba, namun niat itu di urungkan karena biaya pesawat yang relatif mahal yakni sekitar Rp 50  juta.

Viralnya kasus diatas adalah salah satu efek di berlakukannya tarif baru pesawat hingga mencapai 100 persen. Sebelumnya, banyak masyarakat yang mengeluhkan kenaikan tersebut, terutama untuk rute domestik. Masyarakat Aceh yang ingin bepergian ke Jakarta kebanyakan memilih transit dulu di Kuala Lumpur, ketimbang langsung ke Ibukota. Kenyataannya, pergi ke Jakarta lewat Malaysia ongkosnya lebih murah jika dibandingkan terbang langsung dari Aceh, meski harus membuat paspor terlebih dahulu.

Dampak beruntun kenaikan tarif biaya pesawat diperparah dengan kenaikan bagasi berbayar. Masyarakat harus menunda dan membatalkan perjalanan, baik itu untuk kunjungan keluarga, bisnis, wisata atau dinas. Berbagai tempat tujuan wisata, penginapan, dan pusat jajanan oleh-oleh merasakan imbasnya. Disamping biaya perjalanan yang cukup menguras kantong, juga beban biaya barang yang masuk bagasi harus bayar pula. Pada akhirnya beberapa maskapai mengalami penurunan drastis penumpang. Beberapa bandara terlihat lengang.

Anehnya, kisruh terkait kenaikan tarif biaya penerbangan ini direspon “kaget” oleh Jokowi dan menohok Pertamina sebagai penyebabnya. Berbeda dengan  Menteri perhubungan, Budi Karya Sumadi menanggapinya santai, bahwa kenaikan tersebut masih terbilang wajar, sebagai langkah menjaga maskapai agar tidak merugi. Sementara menurut Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Akshara Danadiputra mengatakan mahalnya harga tiket pesawat disebabkan banyak hal. Diantaranya faktor lemahnya rupiah terhadap dolar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus ditanggung penerbangan domestik.

 Kenaikan yang diduga memihak maskapai penerbangan, nyatanya berimbas kepada mereka sendiri. Sepi penumpang dan penerbangan. Warga lebih senang melakukan perjalanan luar negeri ketimbang domestik. Kalaupun harus pergi, mereka lebih memilih angkutan bus dibanding pesawat. Melihat fakta ini, beberapa hari kemudian Ketua Umum INACA, Akhsara mengumumkan biaya pesawat “turun”. Berita itu langsung ditanggapi masyarakat dengan kembali melakukan perjalanan menggunakan pesawat (Merdeka.com)

Carut marutnya pengaturan dan pengelolaan akses publik seolah tak pernah terurai. Penguasa negeri selalu merasa kaget dengan berbagai dilema rakyatnya. Harusnya, sebagai pemegang kebijakan tertinggi mampu memberikan pelayanan maksimal untuk rakyat, bukan sebaliknya. Setiap ada program dan kebijakan baru, rakyat dibuat gusar dan terbebani. Bukan cuma masalah tarif pesawat. Pembangunan jalan tol misalnya. Program yang katanya untuk meningkatkan taraf perekonomian negara dan bangsa nyatanya mengundang masalah berjibun. Harga tol yang mahal, masih terjadi kemacetan dibeberapa ruas jalan tol, jalan rusak, rest area kurang memadai menjadi indikasi pelayanan publik tidak maksimal apalagi menguntungkan rakyat. Jadi, siapa yang diuntungkan ?

Kenaikan tarif pesawat bukan semata-mata bahan bakar avtur atau adanya permainan pertamina. Bahan bakar tersebut sejatinya akan naik/turun mengikuti harga minyak dunia. Pasalnya, saat ini harga minyak dunia sedang turun, kok bisa menjadikan avtur sebagai dalih kenaikan tarif pesawat ? 

 Sistem kapitalis dengan asas manfaat dan keuntungan materi sebesar-besarnya melahirkan kebebasan gaya baru. Kebebasan yang diberikan seluas-luasnya kepada swasta sebagai kapitalis (pemilik modal) dalam kerjasama infrastruktur mengokohkan neoliberalis. Wewenang dan kebijakan berada ditangan pemilik modal, sementara pemerintah cukup sebagai regulator, teken kontrak, dapat fee. Konsekuensinya, penguasa (pemerintah) dalam ekonomi liberal didudukan sebagai kepanjangan tangan mereka.

Melalui negara dan penguasa, kapitalis melebarkan sayapnya meraup kekayaan milik rakyat dengan segala cara. Rakyat sengasara dan menderita bukanlah tanggungjawab mereka. Kesejahteraan rakyat bukanlah prioritas tapi kedudukan dan materi-lah tujuan utama. 

Kondisi ini tak mungkin terjadi manakala regulasi kebijakan dilakukan sesuai tuntunan syara’. Pemimpin yang betul-betul bekerja dan melayani rakyat hanya terjadi dalam kepemimpinan Islam. Institusi Islam dengan Khilafah-nya mampu merealisasikan Undang-undang Allah SWT dan metode Rasulullah Saw melalui tangan “Khalifah”.  Amanah dan tanggungjawab yang di bebankan kepada seorang Khalifah bukan sekedar lips servis tapi murni karena keimanan.

 Sabda Nabi saw: “Barangsiapa diserahi urusan manusia lalu menghindar melayani kamu yang lemah dan mereka yang memerlukan bantuan, maka kelak di hari kiamat, Allah tidak akan mengindahkannya.” (HR. Imam Ahmad).

 “Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan sedangkan keburukannya terjaga.” (HR. Tirmidzi). 

Syariat Islam menilai bahwa perbuatan atau pelayanan terbaik seseorang kepada orang lain pada hakikatnya ia telah berbuat baik untuk dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah Swt: “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri.” (QS. Al-Isra’: 7). 

Pelayanan (ri’ayah) seorang Khalifah terhadap umatnya (Muslim dan non Muslim) adalah representasi syariat Islam. Allah dan RasulNya menjadi rujukan dalam setiap aktivitasnya, bukan yang lain. Intervensi asing yang akan menyimpangkan jalannya akan di buang. Perjanjian dan kerjasama bathil akan dihindari dan dicampakkan, meski keuntungan secara materi melimpah di depan mata. Itulah sosok pemimpin dengan landasan keimanan yang kokoh. Kuat dan tegas menjalankan syariat Islam, menjadikan Islam Rahmatan Lil ‘aalamiin dan memegang teguh tujuan kepemimpinannya yaitu Ridha Allah SWT bukan kapitalis atau parpol sebagaimana rezim saat ini.

Wallahu a’lam bi ash-Shawab.





 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak