Apakah Kesetaraan Gender Sebuah Solusi?

Oleh: Kunthi Mandasari

(Member Akademi Menulis Kreatif)


Memasuki bulan Maret berarti memasuki peringatan International Women's Day. Yang mana selalu diperingati setiap tanggal 8 Maret. Untuk tahun 2019 tema yang diangkat "Balance For Better." Sampai saat ini isu kesetaraan gender masih terus diperbincangkan. 

Dalam situs resminya, International Women's Day mengungkapkan alasan kenapa “Balance for Better” menjadi tema pada 2019 ini. "Pada 2019 ini ditujukan untuk kesetaraan gender, kesadaran yang lebih besar tentang adanya diskriminasi dan merayakan pencapaian perempuan. Hal ini termasuk mengurangi adanya gap pendapatan atau gaji pria dan wanita. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam semua aspek, pemerintahaan, liputan media, dunia kerja, kekayaan dan dunia olahraga," demikian penjelasan di situs resmi Hari Perempuan Internasional, (detik.com, 8/3/2019).

Dipilihnya tema tersebut karena sampai saat ini wanita belum mendapatkan kesetaraan. Setidaknya ada 6 tuntutan yang wajib untuk mereka perjuangkan diantaranya: kesempatan dalam dunia politik dan urusan negara, kesempatan dalam dunia kerja, perlindungan dan kenyamanan, bebas berkarya dan berekspresi, melanjutkan pendidikan, dan kesetaraan bagi sesama perempuan.

Dalam dunia politik wajah-wajah perempuan sudah mulai lalu-lalang di bursa pemilihan. Termasuk beberapa musisi serta artis papan atas yang juga ikut andil  di dalamnya. Beberapa wanita juga menempati posisi strategis dalam pemerintahan, seperti menteri, gubernur, bupati, DPRD maupun DPR pusat. Padahal dalam pandangan Islam wanita tidak boleh duduk dalam pemerintahan yaitu sebagai pembuat kebijakan. 

Allah SWT berfirman yang artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa’: 34).

Serta Rasulullah SAW bersabda yang artinya: 

 “Tidak adakan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita.” (HR. Bukhari).

Dari ayat di atas telah jelas melarang wanita sebagai pemimpin. Namun wanita diperkenankan jabatan sebagai pelaksana hukum syara'. Seperti menjadi qhadi hisbah serta sebagai anggota majelis umat yang berfungsi sebagai pengontrol pemerintah dan untuk menyampaikan pendapat dari kaumnya.

Dalam dunia kerja tak jarang kita jumpai para wanita sebagai pelakunya. Baik secara profesional maupun sebagai buruh kasar. Hanya saja gaji yang mereka relatif lebih rendah dibandingkan kaum pria. Dari analisa informasi data Korn Ferry Gender Pay Index, merupakan hasil dari gaji berdasarkan gender dari 14.284 pegawai di 53 negara. Dari survei, terungkap gaji wanita lebih rendah dari pria. Secara global, umumnya pria menerima penghasilan 16,1% lebih banyak dari wanita, (detik.com, 8/3/2019).

Para wanita terutama ibu rumah tangga didorong untuk keluar mencari nafkah karena biaya hidup yang tinggi. Bahkan para wanita lajang juga banyak yang berlomba-lomba memperoleh pekerjaan, karena standar yang mereka gunakan adalah materi.

Efek dari keluarnya wanita dari rumah menyebabkan terbengkalainya tugas utama wanita sebagai ummu warobatul bayt (ibu sekaligus pengatur rumah tangga). Sehingga banyak lahir generasi yang rusak. Ketika para ibu sebagai pendidiknya telah banyak yang keluar rumah demi meraup rupiah. Yang semestinya menjadi tanggung jawab walinya.

Tidak heran jika perlindungan dan kenyamanan yang mereka kejar justru tidak mereka dapatkan. Karena mereka telah jauh dari fitrahnya. Dengan dalih kebebasan berkarya dan berekspresi, karena tidak mau wanita dianggap sebagai makhluk yang lemah. Mereka menjadi mangsa empuk kapitalis dengan iming-iming materi yang menyilaukan. Yang justru menjerumuskan mereka pada strategi kapitalis yang hendak meraup pundi-pundi rupiah dari melalui setiap lekuk tubuh serta keringat mereka. 

Mereka beranggapan dengan kesetaraan gender, wanita akan menjadi mulia. Namun faktanya justru muncul berbagai masalah baru. Wanita justru semakin menderita. Karena solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar permasalahan, yakni menempatkan wanita sesuai kodratnya.  

Dalam pandangan Islam antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Yakni dinilai dari ketaatan mereka terhadap aturan Allah. Bukan pada bentuk dan fungsinya. Karena Allah menciptakan pria dan wanita untuk saling melengkapi. Jika disamakan justru pihak wanita yang akan dirugikan, karena potensi wanita dan pria berbeda. Yang diperlukan adalah menempatkan mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki. 

Apa yang menjadi tuntutan kaum feminisme sebenarnya bisa mereka dapatkan. Hanya saja tidak melalui sistem sekuler yang menafikan aturan Tuhan. Tetapi sebaliknya yaitu mengambil dan melaksanakan syari'at Islam secara menyeluruh. Karena sejatinya aturan Allah itu membawa maslahat bukan mafsadat. Wallahu 'allam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak