Andai UN Ditiadakan, Dengan Apa Menentukan Kelulusan?

sumber : google



   Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya  rekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungan. Itulah fungsi daripada pendidikan yang sesungguhnya _Lenang Manggala, Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia


Tak terasa Ujian Nasional (UN) baru saja hadir menyapa putra-putri kita.  Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, aura ketegangan merambat di benak siswa di penjuru negeri.  Sebab UN masih memiliki andil sebagai penentu kelulusan.  

Maka ketika Cawapres Sandiaga Salahuddin Uno berjanji menghapus Ujian Nasional (UN), hal ini ibarat menabur angin segar sekali lagi.  

"Kami juga pastikan bahwa sistem Ujian Nasional dihentikan," kata Sandiaga di lokasi debat calon wakil Presiden, Hotel Sultan, Jakarta. 

Rakyat pun berharap ini tak sekedar janji manis di siang bolong.  Karena sudah sejak lama UN jadi kontroversi antara perlu dan tidaknya.  


Rencana ini  diapresiasi Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Wakil Sekjen FSGI, Satriwan Salim, menyebut ini sebagai "keberanian". Dia bilang meski sejak 2015 bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan--kebijakan yang ditetapkan oleh Anies Baswedan ketika menjabat Mendikbud--UN tetap saja membebani mental siswa. (tirto.id, 18/3/2019).

UN dalam Sorotan

Berhasilnya pendidikan suatu bangsa menjadikan bangsa itu bangkit untuk mencapai kemajuan. Sebaliknya mundurnya suatu bangsa karena gagalnya pendidikan, untuk membangkitkannya melalui pemikiran. Jika di perhatikan bangsa- bangsa di dunia ini tidak ada yang hancur karena kemiskinannya. Akan tetapi hancurnya bangsa, karena bangsa itu tidak berhasil menjadikan pemikiran sebagai pijakan kebangkitan karena gagalnya pendidikan. Karena pemikiran output pendidikan rusak, maka kerusakan terjadi di seluruh aspek kehidupan.

Di bidang politik misalnya.  Berlangsungnya politik biaya tinggi ala demokrasi-kapitalisme sukses memperbesar risiko berubahnya kepribadian seseorang yang notabene kalangan terdidik menjadi tersangka.

Mengutip perkataan mantan ketua umum salah satu parpol yang baru-baru ini terjaring OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,  “Hari ini menjadi politisi itu tidak sebangga menjadi politisi bahkan menjadi anak politisi di zaman orde baru. Kenapa? Karena sekarang ini antara pejabat dengan penjahat itu beda tipis. Hari ini pejabat besok langsung bisa menjadi penjahat,” ujarnya dalam video. (bisnis.com, 16/3/2019).

Jelaslah carut marut pendidikan kita sudah dimulai sejak dari visi, misi, tujuan, kurikulum , metode sampai pada produk yang dihasilkan.  Kisruh Ujian Nasional (UN) akhirnya ibarat lagu lama diputar di atas pita kaset yang rusak.  Terus berulang tanpa ada solusi yang tuntas.

Menurut Herwindo, Ph.D dalam makalahnya pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, menyebutkan bahwa target dari evaluasi pendidikan adalah untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang disampaikan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sudah tercapai atau belum.

Adapun tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang No 2 tahun 1989, adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang mandiri serta demokratis.

Dengan demikian jelas UN tidak bisa sebagai alat mengukur keberhasilan pendidikan, karena untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah disebutkan di atas, UN hanya mampu menunjukkan kompetensi dalam ranah kognitif, yaitu hanya satu tujuan berilmu, itu pun kalau jujur. Karena sudah menjadi rahasia umum siswa dapat bocoran soal, jawaban dari yang lain, termasuk gurunya. Lalu bagaimana dengan tujuan yang lain yaitu menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang mandiri serta demokratis? Apakah tujuan ini bisa dinilai dengan UN? Apakah siswa yang melakukan pergaulan bebas ala Dilan-Milea, bisa dijamin tidak lulus UN karena tidak berakhlak mulia? Ironis.

Jelas, kerusakan sistem UN ini sangat parah. Sudahlah hanya menilai sisi kognitif-nya saja, itu pun ternyata tidak semua pelajaran masuk dalam UN. Tentu saja penilaian semacam ini tidak akurat dan tidak mampu mempresentasikan kemampuan siswa yang sebenarnya. Misalnya untuk SD dari 10 pelajaran, yang diujikan hanya 3 mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sedangkan untuk SMP dari 12 mata pelajaran yang diujikan hanya 4 mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Inggris.

Sebuah Alternatif

Bila UN tak kuasa mewujudkan manusia dewasa yang berkarakter luhur berbudi, belumkah saatnya mencari pengganti? Andaikan saja bentuk evaluasi belajar mengajar mengacu pada  Islam.  Niscaya dilakukan  dengan profesional dan komprehensif mengarah  pada tujuan pendidikan.  

Sebab dalam Islam pendidikan bertujuan, 

Pertama, membentuk Generasi berkepribadian Islam. Yaitu membentuk pola tingkah laku anak didik yang berdasarkan pada akidah Islam, senantiasa tingkah lakunya mengikuti Al Qur’an dan Al Hadis). Kedua, Menguasai ilmu kehidupan (keterampilan dan Pengetahuan). Yaitu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengarungi kehidupan yang diperlukan, agar dapat berinteraksi dengan lingkungan, menggunakan peralatan, mengembangkan pengetahuan sehingga bisa inovasi dan berbagai bidang terapan yang lain. (Menggagas Pendidikan Islam, buku karya Muhammad Ismail Yusanto)

Adapun evaluasi  diselenggarakan untuk seluruh mata pelajaran yang telah diberikan. Bentuk ujian tak hanya tulisan namun lebih utama secara lisan. Dengannya diharapkan tercetak sosok pribadi yang tangguh dengan pemahaman yang mumpuni.  

Ujian lisan tersebut dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup. Di samping itu tentu ada ujian praktik pada keahlian tertentu. Siswa yang naik kelas atau lulus harus dipastikan mampu menguasai pelajaran yang telah diberikan dan mampu mengikuti ujian sebaik-sebaiknya. Tentu saja siswa-siswa yang telah dinyatakan kompeten/lulus adalah siswa-siswa yang betul-betul memiliki kompetensi ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dan memiliki pola tingkah laku yang Islami.

Pada masa pemerintahan Khalifah Al Fatih, pendidikan Islam semakin maju. Di samping mampu menaklukkan Konstantinopel, sebuah kota pertahanan militer paling kuat saat itu, beliau juga sangat perhatian terhadap pendidikan. Khalifah Al Fatih mengeluarkan hartanya pribadi untuk membangun sekolah-sekolah di seluruh kota besar dan kecil. Sebagai kepala Negara, Al Fatih menetapkan manajemen sekolah, mengatur dalam jenjang dan tingkatan-tingkatan, menyusun kurikulum pada setiap level, termasuk sistem ujian untuk semua siswa.

Lebih dari itu Muhammad Al Fatih sebagai kepala negara saat itu masih menyempatkan waktu untuk memonitor dan membimbing pendidikan rakyatnya. Bahkan Al Fatih tidak jarang datang ke sekolah, mendengarkan bagaimana guru mengajar. Beliau juga mengunjungi saat siswa ujian. Dan perhatiannya pada dunia pendidikan juga ditunjukkan dengan memberikan hadiah pada siswa berprestasi, padahal pendidikan diselenggarakan Negara Khilafah untuk rakyatnya secara gratis.

Terbukti mengadopsi syariat Islam secara kaffah  dengan  sistem Pendidikan Islam di dalamnya berpotensi menyelesaikan persoalan UN.  Tujuan pendidikan pun bisa tercapai secara sempurna. Sabda Rasulullah saw.,

Menuntut ilmu  wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah) 

Wallaahu a’lam.


Ummu Zhafran

(Praktisi Pendidikan, juga Pengasuh Grup Ibu Cinta Quran)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak